Jumat, 16 Januari 2009

TUHAN, ENGKAU ADA DI MANA??

Sering ku tanya pada diriku sendiri,
Dimanakah Engkau Tuhan???
Bila aku berada dalam barisan orang-orang yang memikul salib-Mu
Aku masih bertanya,
Dimanakah Engkau Tuhan???

Ah Tuhan….
Ada apa dengan-Mu, sampai begitu sulit aku mencari Engkau
Aku pergi ke tempat penyembahan-Mu
Di sana aku lihat banyak orang dengan pakaian yang serba indah,
Harumnya wewangian terkadang membuat nafasku sesak,
Tapi kenapa di sana Engkau begitu jauh???
Aku tak bisa menggapai-Mu, karena tanganku terlipat
Aku tak bisa melihat-Mu, karena mataku tertutup
Aku hanya mendengar nama-Mu di sebut, tapi kenapa Engkau jauh???

Lalu aku menyusuri jalan berdebu, di tengah pekatnya malam
Aku masih mencari Engkau, dengan sebotol minuman di tanganku.
Ah….. kupikir Engkau ada dalam botol itu,
Tapi aku berpikir apakah Engkau juga bisa memabukkan aku???

Aku berjalan terus menuju ke tempat pelacuran,
Mungkinkah Engkau di sana???
Mungkinkah Engkau melacurkan diri???

Dalam pencarianku yang semakin jauh,
Aku melihat begitu banyak orang yang tidur di kolong jembatan
Mungkinkah Engkau di sana???
Sehingga dengan damai mereka membaringkan tubuh dari kepenatan

Ah Tuhan…..
Semakin jauh aku mencari Engkau,
Saat itu pula Engkau semakin jauh dariku.
Aku bertanya pada alam ini,
Di manakah Engkau???
Tapi mereka mentertawakan aku,
Dalam desiran angin, panasnya matahari dan derasnya hujan

Dalam keheningan aku merenungkan semuanya,
Hidupku, karyaku, pengabdianku.
Aku dengar, dengan lembut Engkau berbisik kepadaku:
Kenapa begitu jauh kamu mencari Aku, anak-Ku
Aku tidak jauh, sebab Aku ada dalam hatimu
Aku tidak jauh, anak-Ku
Sebab Aku ada di mana-mana

Selasa, 13 Januari 2009

AGAMA, HAM DAN DEMOKRASI


1. Agama Yang Memanusiakan Manusia
Peradaban manusia di abad millennium III sangat membutuhkan kembali hadirnya agama, yaitu agama dengan paradigma moral. Agama yang sanggup menggairahkan inisiatif umat dalam pemberdayaan demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang beradab dan sejahtera. Suatu masyarakat yang berpondasikan penghormatan akan HAM maupun demokrasi. Singkatnya, peradaban masa kini dan mendatang sangat berkepentingan dengan hadirnya agama, agama yang memiliki kompetensi moral. Agama dengan paradigma moral yaitu agama yang memiliki visi memanusiakan manusia seutuhnya. Dalam hubungan dengan itulah peradaban manusia dewasa ini mendambakan agama yang berkemampuan memberdayakan keutuhan manusia. Agama secara fungsional mampu menjembatani jurang ritual dengan moral-spiritual warganya. Agama yang secara aktif menjadi lokomotif dalam menentukan arah peradaban manusia, pengembangan disiplin ilmu untuk percepatan diakhirinya krisis kemanusiaan.
Agama harus menjadi berkat bagi masyarakatnya. Cita-cita itu akan terwujud jika saja agama secara internal merekonstruksi primordialitasnya yang potensial memicu lahirnya konflik horosontal dalam kehidupan masyarakat. Agama yang secara terus menerus dan ikhlas belajar dari sejarah peradaban manusia yang penuh dengan lumuran darah. Cerdas dan arif dengan kenyataan besarnya saham agama dalam memicu dan melestarikan pertikaian.

2. Agama Yang Memperjuangkan Masyarakat Beradab dan Sejahtera
Masyarakat yang beradab dan sejahtera tidak akan pernah bias terwujud dengan sendirinya. Apalagi, di tengah kehidupan masyarakat bangsa Indonesia yang sedang mengalami berbagai dekadensi moral. Kita kini hidup dalam kenyataan semakin menipisnya rasa hormat akan hidup dan martabat manusia. Rasa perikemanusiaan seakan-akan telah secara sengaja dibunuh demi kepuasan prestise golongan. Kekerasan demi kekerasan di berbagai sektor kehidupan semakin membudaya dalam masyarakat. Kekerasan acapkali dipakai sebagai satu-satunya penyelesaian terhadap adanya berbagai sisi perbedaan pendapat, suku, agama, daerah, cita-cita, kepentingan atau aspirasi hidup.
Ajaran Kristus untuk mewujudkan masyarakat yang beradab dan sejahtera secara eksplisit terdapat dalam hukum kasih. Kasih sebagai ajaran utama agama Kristen bersifat proaktif menggugah mata hati nurani menjalankan panggilan mengubah wajah buruk masyarakat kini. Panggilan itu menjadi suatu kewajiban setiap orang beriman menjadi garam dan terang (Mat. 5 : 13 – 16). Prinsip kasih yang proaktif menggerakkan orang beriman untuk melakukan advokasi saat orang miskin dilucuti kemanusiaannya dengan berbagai dalih pembenarannya. Di sisi lain, ia menjadi kekuatan penyadar ketika sejumlah individu berkompetisi memperkaya diri sendiri dengan menghalalkan berbagai cara. Pembungkaman ajaran kasih dengan keberpihakan kepada kekayaan, pada hakikatnya merupakan kejahatan keagamaan, pembunuhan kasih. Kasih yang proaktif merupakan pendorong yang tidak akan pernah keletihan untuk turut serta berpartisipasi dalam usaha keras membangkitkan kembali proses pemulihan dan reformasi bangsa untuk membarui Indonesia. Bersama-sama komponen bangsa lainnya bangkit menegakkannya bangsa Indonesia dari keterpurukan yang multi dimensi ini. Dalam melihat situasi yang suram ini, penglihatan kita dapat menjadi suram juga. Dengan pelita iman disertai kejernihan budi dan hati, mari kita coba juga melihat titik terang, hikmah yang dapat ditarik serta mutiara-mutiara sikap hidup yang indah yang masih dapat kita temukan di tengah masyarakat dan bangsa kita, untuk kita kembangkan bersama.

3. Tegakkan HAM Dan Demokrasi Sebagai Ciri Masyarakat Yang Beradab dan Sejahtera.
Masyarakat beradab pastilah mengakui adanya perbedaan sebagai kekayaan hidup bersama. Kualitas kesadaran HAM dan demokrasi dibuktikan dengan berkembangnya kesanggupan sikap toleransi, saling mendengarkan, saling menghargai, saling menghormati satu sama lain. Terciptanya kehidupan bersama yang secara arif dan penuh kerelaan membangun kebersamaan sebagai cara hidup, lebih dari hanya sloganisme atau ungkapan klise.
Ada banyak contoh buruk tentang penghormatan HAM dan demokrasi sebagai sebuah retorika kosong bahkan cenderung sebuah manipulasi belaka. Wajarlah, jika kemudian melahirkan pribadi-pribadi pengkhianat dan pelacur moral yang berlindung dibalik nilai-nilai luhur HAM dan demokrasi. Di sisi lain, banyak orang begitu polos dan sederhana begitu saja berharap pada janji-janji HAM dan demokrasi tanpa melakukan apapun. Akibatnya kehidupan yang demokratis semakin jauh bahkan nyaris bagaikan suatu utopisme sejati. Pemutarbalikan fakta sosial seolah-olah ada keputusan kolektif yang diramu dengan pertimbangan publik yang luas dan atas keseimbangan atau harmoni. Dalih demokrasi didramatisasi dalam pentas kebijakan publik ditetapkan secara voting berdasarkan kuantitas kekuatan fraksi. Praktek voting memberi kesan sosial seakan-akan telah berlakunya prinsip demokrasi? Voting dirasionalisasikan sebagai bukti konstitusi rakyat telah melaksanakan demokrasi dan sekaligus melaksanakan HAM.
Mekanisme voting menyisakan suasana psikologis sosial antara pihak yang menang dan kalah, menyisakan konflik laten bagaikan gunung es. Perasaan dipinggirkannya kelompok yang kalah, bukan hanya dalam kebijakan publik tetap bahkan hal-hal yang berhubungan dengan HAM. Ini merupakan suatu konsekuensi logis dipakainya kekuatan dalam menyelesaikan perbedaan dalam masyarakat. Di sisi lain ketidakdewasaan dan keterbatasan memahami nilai demokrasi untuk membereskan konflik-konflik kepentingan secara damai penguatan sekat-sekat keutuhan hidup. Musnahnya semangat kejujuran dalam bermusyawarah demi terbangunnya kesepakatan, tidak saja menggambarkan ketidakdewasaan kita membangun demokrasi tetapi menjadikan HAM semakin mirip.Inti jiwa demokrasi terungkap dalam semboyan revolusi Perancis: Liberte, egalite dan fraternite (kebebasan, persamaan dan persaudaraan). Artinya demokrasi hanya mungkin bertumbuh jika ada kedewasaan membangun kerja sama, dalam semangat kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Sikap ksatria dalam menjunjung tinggi nilai kejujuran, kebersamaan dan keikhlasan perlu dikembangkan. Pergumulan kita dalam membangun demokrasi membutuhkan wawasan dan kemauan baik bahkan bisa saja malah “pengorbanan” sebagai harga tunai yang harus dibayarkan untuk menata kehidupan bersama.