Jumat, 19 Desember 2008

Manchester United

Manchester United F.C. (biasa disingkat Man Utd, Man United atau hanya MU, dibaca men yunaitid) adalah sebuah klub sepak bola Inggris yang berbasis di Old Trafford, Manchester.
Dibentuk sebagai Newton Heath LYR F.C. pada 1878 sebagai tim sepak bola depot Perusahaan Kereta Api Lancashire dan Yorkshire Railway di Newton Heath, namanya berganti menjadi Manchester United pada 1902..
Meski sejak dulu telah termasuk salah satu tim terkuat di Inggris, barulah sejak 1993 Manchester United meraih dominasi yang besar di kejuaraan domestik di bawah arahan Sir Alex Ferguson - dominasi dengan skala yang tidak terlihat sejak berakhirnya era Liverpool F.C. pada pertengahan 1970-an dan awal 1980-an. Sejak bergulirnya era Premiership di tahun 1992, Manchester United adalah tim yang paling sukses dengan delapan kali merebut tropi juara.Meskipun sukses di kompetisi domestik, kesuksesan tersebut masih sulit diulangi di kejuaraan Eropa; mereka hanya pernah meraih juara di Liga Champions tiga kali sepanjang sejarahnya (1968, 1999, 2008).
MU menjadi salah satu klub paling sukses di Inggris; sejak musim 86-87, mereka telah meraih 20 trofi besar - jumlah ini merupakan yang terbanyak di antara klub-klub Liga Utama Inggris. Mereka telah memenangi 17 trofi juara Liga Utama Inggris. Pada tahun 1968, mereka menjadi tim Inggris pertama yang berhasil memenangi Liga Champions Eropa, setelah mengalahkan S.L. Benfica 4–1, dan mereka memenangi Liga Champions Eropa untuk kedua kalinya pada tahun 1999 dan sekali lagi pada tahun 2008 setelah mengalahkan Chelsea F.C. di final. Mereka juga memegang rekor memenangi Piala FA sebanyak 11 kali.
Pada 12 Mei 2005, pengusaha Amerika Serikat Malcolm Glazer menjadi pemilik klub dengan membeli mayoritas saham yang bernilai £800 juta (US$1,47 milyar) seiring dengan banyaknya protes dari para pendukung fanatik.
Setiap kali MU bertanding, para fansnya selalu menyanyikan lagu ”Glory-glory Manchester United”. Lagu ini diadopsi dari ”Battle Hymn Of Republic”.
Memang lagu ini terdengar religius karena liriknya yang ada kata-kata glory hallelujah... Baca lirik aslinya yang lengkap juga seperti lagu rohani. Tapi, aslinya ini lagu perang... Ya, lagu perang. Tapi sebelumnya sudah dinyanyikan untuk keperluan religius pada tahun 1855 dengan judul Canaan Happy Shore.
Tapi lagu ini jadi tambah terkenal saat Perang Saudara. Lagu ini dinyanyikan oleh tentara Union Amerika (kalau di film seragamnya warna biru gelap, lawannya Confederate Army berseragam abu-abu). Lirik awalnya berisi cemoohan bercanda pada seorang teman mereka yang aslinya orang Scotland.
Kebetulan namanya sama dengan seorang lain yang adalah pahlawan, John Brown, dan sudah meninggal saat itu. Brown yang satu ini orangnya kocak dan suka terlambat. dan gegabah. Makanya dia sering jadi bulan-bulanan yang lainnya dan salah satu anggota pasukan itu, Thomas Bishop, membuat lagu ini.John Brown's body lies a-mouldering in the grave; (3X)
His soul's marching on!
Glory, halle—hallelujah! Glory, halle—hallelujah!
Glory, halle—hallelujah! his soul's marching on!
(maksudnya John Brown khan dah mati tapi dia "hidup" lagi... jiwanya tetap berbaris... puji Tuhan Halleluya.)
Lagu ini menjadi mars berjalan pasukan Bishop. Ketika pasukan Bishop ke Washington pada tahun 1861, Julia Ward Howe mendengar lagu ini dan atas permintaan Pdt. James Clark ia diminta mengubah liriknya agar bisa menjadi lagu perang seluruh pasukan Republik. Jadilah lagu dengan lirik lebih bagus. Isinya memang sangat religius. Ingat, bahwa Union waktu itu berperang salah satunya menjunjung pesan "suci" membasmi perbudakan. Jadi, battle hymn-nya terdengar seperti mereka ini adalah pasukan Tuhan.
Mine eyes have seen the glory of the coming of the Lord:
He is trampling out the vintage where the grapes of wrath are stored;
He hath loosed the fateful lightning of His terrible swift sword:
His truth is marching on.
Glory, glory, hallelujah!
Glory, glory, hallelujah!
Glory, glory, hallelujah!
His truth is marching on
So buat seluruh fans MU, inillah lirik Glory-glory Manchester United:

Glory glory Man united,
Glory glory Man united,
Glory glory Man united,
As the reds go marching on on on!

Just like the busby babes in days gone by,
We’ll keep the red flags flying high,
Your gonna see us all from far and wide,
Your gonna hear the masses sing with pride.

United, Man united,
We’re the boys in red and we're on our way to Wembley!

Wembley, Wembley,
We're the famous Man united and we're going to Wembley,
Wembley, Wembley,
We're the famous Man united and we're going to Wembley

In Seventy-Seven it was Docherty
Atkinson will make it Eighty-Three
And everyone will no just who we are,
They'll be singing que sera sera

United, Man united,
We’re the boys in red and we're on our way to Wembley!
Wembley, Wembley,
We're the famous Man united and we're going to Wembley,
Wembley, Wembley,
We're the famous Man united and we're going to Wembley

Glory glory Man united,
Glory glory Man united,
Glory glory Man united,
As the reds go marching on on on!

Glory glory Man united,
Glory glory Man united,
Glory glory Man united,
As the reds go marching on on on!

Rabu, 10 Desember 2008

Apakah Agama Itu?

Dalam tulisan saya tentang "Tangkap Tikusnya", bung Steve Gaspersz memberikan komentar yang mencoba “merangsang” saya untuk berpikir tentang apakah agama itu.
Banyak pendapat yang bermunculan tentang mengapa agama selalu hadir dalam kehidupan manusia. Salah satunya, hal itu disebabkan oleh karena manusia menyadari akan keterbatasannya, dan berpaling kepada sesuatu yang dianggap tak terbatas. Dengan demikian, agama dianggap tidak lebih dari suatu pelarian, bahkan dianggap sebagai ciptaan manusia. Ketika ilmu dan teknologi mengalami kemajuan untuk menjawab berbagai keterbatasan manusia, maka peran agama digantikan dengan ilmu dan teknologi, dan agama mengalami kemerosotan. Namun walaupun agama mengalami kemerosotan, fenomena agama tak pernah hilang sama sekali, bahkan kini era kebangkitan agama sementara dijalani manusia. Hal ini karena ilmu dan teknologi tak pernah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan terdalam dari manusia misalnya mengenai tujuan hidup.
Kebanyakan orang telah memiliki ide tentang apa itu agama. Mereka mungkin akan berpikir tentang kepercayaan kepada Tuhan, roh-roh supranatural, ataupun kehidupan setelah mati. Atau mungkin mereka akan menyebut satu dari agama-agama besar dunia, seperti Hindu, Budha, Kristen, Islam. Satu konsep yang biasanya dipandang menjadi karakteristik dari segala sesuatu yang religius adalah konsep supranatural. Yang Supranatural adalah tatanan hal-ihwal yang berada di luar kemampuan pemahaman manusia ; yang supranatural adalah dunia misteri, yang tidak bisa diketahui atau yang tidak bisa ditangkap akal dan dicerap indera. Maka agama menjadi semacam spekulasi terhadap segala sesuatu yang ada di luar ilmu pengetahuan dan akal sehat pada umumnya. Agama yang ajaran-ajarannya kadang saling berlawanan, diam-diam sepakat bahwa dunia dengan segala isi dan segala yang melingkupinya adalah sebuah misteri yang membutuhkan penjelasan. Agama pada dasarnya berisi keyakinan akan adanya sesuatu yang mahakekal yang berada di luar pengetahuan manusia. Dengan kata lain, agama sebagai usaha untuk memahami apa-apa yang tak dapat dipahami dan untuk mengungkapkan apa yang tak dapat diungkapkan; sebuah keinginan kepada sesuatu yang tidak terbatas.
Secara umum agama merupakan sesuatu yang benar-benar bersifat sosial. Representasi-representasi religius adalah representasi-representasi kolektif yang mengungkapkan realitas-realitas kolektif. Ritus-ritus merupakan bentuk tindakan yang hanya lahir di tengah kelompok-kelompok manusia dan tujuannya adalah untuk melahirkan, mempertahankan atau menciptakan kembali keadaan-keadaan mental tertentu dari kelompok-kelompok itu. Wadah di mana representasi terbentuk inilah yang melahirkan perbedaan. Representasi kolektif adalah hasil dari kerjasama begitu rumit yang tidak hanya meluas di dalam ruang tapi juga di sepanjang waktu.
Sigmund Freud dan Karl Marx menganggap agama bukan hanya salah, tetapi menurut standar moralitas dan kenormalan agama adalah sesuatu yang jahat. Dengan kata lain bagi Freud-Marx agama tidak lebih sebagai candu bagi masyarakat. Ia adalah sesuatu yang tidak sehat dan disfungsional, sejenis penyakit yang harus dicoba disembuhkan oleh orang. E. B. Tylor menguraikan agama dengan merujuk pada kepercayaan pada makhluk-makhluk spiritual. Emile Durkheim mendefenisikan agama sebagai hal yang berkenaan dengan yang sakral, dan kemudian lebih lanjut mengidentifikasi yang sakral dengan yang sosial. Baginya, masyarakat dipuja sebagai Tuhan.
Dari berbagai teori di atas, agama dapat diartikan sebagai pencarian manusia (bahasa bung Steve, bentukan intepretatif) terhadap kekuatan tertinggi (supranatural) serta hubungan denganNya. Hubungan itu ada dalam bentuk ritus-ritus atau upacara-upacara. Dalam pemahaman seperti ini, ada dua hal yang terkandung di dalam agama yaitu Kepercayaan dan Ritus/upacara. Kepercayaan merupakan pendapat-pendapat (states of opinion) dan terdiri dari representasi-representasi. Sedangkan ritus merupakan bentuk-bentuk tindakan (action) yang khusus. Di antara dua hal tersebut, terdapat jurang yang memisahkan cara berpikir (thinking) dan cara berperilaku (doing). Ritus dapat dibedakan dari tindakan-tindakan (practice) manusia lainnya – misalnya tindakan moral (moral practice) – berdasarkan kekhasan hakikat apa yang jadi objeknya. Objek ritus harus ditentukan karakteristiknya terlebih dahulu, agar karakter ritus itu bisa ditentukan. Dan kekhasan objek ritus terungkap dalam kepercayaan. Oleh sebab itu, hanya setelah mendefenisikan kepercayaan kita barulah bisa mendefenisikan ritus.
Terhadap pertanyaan Bung Steve, apakah sejauh ini agama masih independen dan otonom? Seharusnya demikian. Independen artinya harus bebas dari kepentingan-kepentingan kelompok tertentu (di luar agama) yang ingin memanfaatkan agama untuk mencapai tujuannya. Seperti inter-penetrasi agama dan politik (dalam tulisan Realitas Beragama Di Indonesia). Fungsinya harus sebagai kekuatan korektif yang menyuarakan nilai-nilai moral dalam masyarakat. Otonom artinya urusan suatu agama (menyangkut dogmanya) menjadi urusan agama itu sendiri. Ia tidak bisa “diintervensi” oleh agama lain termasuk pemerintah. tetapi bukan berarti para penganutnya lalu bersikap fanatik dan primordial. Apabila agama-agama semakin kehilangan dayanya sebagai kekuatan moral, maka dalam masyarakat akan hidup nilai-nilai yang dangkal dan lemah. Dengan itu masyarakat akan lekas lelah secara moral dan menyukai kekerasan. Apa yang diharapkan dari agama-agama adalah sebuah proses pemikiran ulang dengan memberikan perhatian kepada soal-soal kemanusiaan bersama, sekalipun tetap dengan menggali kaidah etik dan moral dari agama. Pendekatan terhadap berbagai realitas masyarakat yang majemuk harus lebih terbuka, yaitu memandang diri sendiri selaku faktor komplementer dari kebulatan persoalan kemanusiaan yang lebih besar dan komprehensif. Tidak lagi membangkitkan semangat primodial yang menimbulkan sifat-sifat tertutup terhadap unsur-unsur luar yang dianggap asing dan mengancam. Yang dibutuhkan adalah memikirkan hubungan antar agama dalam suatu semangat untuk memikirkan makna pluralisme secara lebih serius dalam tradisi keagamaan masing-masing. Juga upaya membangun kembatan-jembatan spiritual-intelektual untuk memikirkan kembali relasi-relasi antara agama yang lebih sesuai dengan konteks persoalan kemanusiaan yang lebih mendesak dan menentukan pada masa sekarang ini.

Tuhan... Terjepitkah Engkau?

Oh Tuhan …………..
Engkau yang termulia di seantero jagad ini
Engkau yang menciptakan semua alam ini
Termasuk manusia juga

Oh Tuhan …………..
Kekuasaan-Mu tak terbatas
Melampaui batas-batas kekuasaan manusia
Seakan manusia tak berarti bila berhadapan dengan - Mu

Tetapi Tuhan ……….
Kami terkadang menganggap kami lebih dari Engkau
Kami menjadikan kekuatan kami melebihi kekuatan-Mu
Lalu Engkau seakan tidak berarti dalam hidup kami

Tuhan ……………….
Engkau kan hadir untuk semua orang
Kehadiran yang universal
Menembusi batas-batas manusia

Lalu Tuhan …………..
Dalam ego kami sebagai manusia
Kami hanya melihat Engkau menjadi milik kami sendiri
Dan orang lain bukan menjadi milik-Mu

Oh Tuhan …………
Terjepitkah Engkau???
Saat kami mengklaim engkau hanya menjadi milik kami
Terpasungkah Engkau???
Saat kami dengan keangkuhan
Menjadikan Engkau milik sekelompok orang saja

Ampuni kami Tuhan ………
Bila kami menjepit Engkau dalam batasan-batasan kami
Bila kami memasung Engkau dalam kelompok tertentu
Sebab kami tahu Engkau itu universal

Selasa, 09 Desember 2008

Tangkap Tikusnya

I
Masohi rusuh lagi. Menjadi headline di media-media lokal dan beberapa media nasional, ketika hendak membuat tulisan ini. Dari informasi yang di dapat, puluhan rumah terbakar, fasilitas umum berupa puskesmas dan balai desa juga ikut terbakar, serta bangunan gereja (darurat) di Letwaru dibakar oleh orang-orang Lesane (kebetulan kedua desa ini berdekatan). Apa yang menjadi akar masalah sehingga ada tindakan anarkhis demikian? Rupanya ada seorang guru SD Negeri 4 Masohi (Welhelmina Holle) mengeluarkan perkataan kepada para siswanya yang menyinggung perasaan umat Muslim di Masohi, karena pernyataan tersebut dianggap melecehkan Nabi Muhammad SAW. Akhirnya, warga Masohi, termasuk warga Lesane, yang beragama Muslim melakukan demonstrasi di Polres Maluku Tengah menuntut pemulihan nama baik dan sang guru tersebut harus mempertanggungjawabkan perkataannya. Setelah aksi demonstrasi tersebut, warga kemudian kembali melakukan tindakan anarkhis di terminal Binaya Masohi dan berlanjut dengan penyerangan terhadap pemukiman Letwaru. Korban pun berjatuhan, ada yang terluka dalam peristiwa tersebut. Pertanyaannya, apakah sang guru dalam pernyataannya mengatasnamakan umat Kristen? Apakah Letwaru sebagai suatu pemukiman yang “kebetulan” banyak didomisili oleh umat Kristen juga harus menanggung akibat dari “pelecehan” tersebut? Analoginya, jika tikus ada di dapur, apakah dapurnya harus dibakar ataukah tikusnya yang ditangkap? Walahualam……..
Saya lalu berpikir, apa sebetulnya yang terjadi dengan kondisi beragama kita akhir-akhir ini. Mengapa lalu orang begitu cepat mengambil tindakan anarkhis ketika ajaran agamanya “disentuh”? Mengapa segala sesuatu menyangkut agama sangat sensitif sifatnya?
Apakah demikian menunjukkan bahwa penganut agama masih beragama dalam kerangka mitos? Bisa saja dikatakan demikian. Mitos kisah atau deskripsi yang benar bukanlah benar secara harafiah, tetapi bagaimanapun juga mengekspresikan dan cenderung menimbulkan sikap yang benar terhadap objek mitos tersebut. Contohnya dengan melihat mitos religius yang sangat terkenal, kisah penciptaan dalam tujuh hari dan kejatuhan Adam dan Hawa, serta pengusiran keduanya dari taman Eden. Hal itu bukanlah kebenaran literal tetapi mungkin kebenaran mitologis, sebagai cara untuk mengatakan bahwa dunia adalah ciptaan ilahi dan manusia adalah manusia yang tak sempurna yang hidup dalam dunia yang tak sempurna juga. Dalam kasus seperti ini, apa yang dikatakan oleh mitos dapat juga disebut dalam istilah literal, tetapi tidak begitu hidup.
Dalam masing-masing kasus, nilai mitos adalah berbicara dalam cara yang kongkret dan dapat divisualisasikan sehingga menarik bagi imajinasi dan karenanya dapat meresap ke dalam pikiran, biasanya mempengaruhi sikap seorang dengan lebih kuat ketimbang pernyataan-pernyataan abstrak. Karena itu, signifikasi mitos terletak di dalam kekuatan pengungkapannya ketimbang dalam kebenaran mutlaknya yang tidak dapat diekspresikan. Namun dalam hal tertentu, mitos memang menyampaikan sesuatu yang tidak dapat disampaikan, karena mitos ini memperluas metafora. Metafora dapat diartikan sebagai sesuatu yang ‘digenerasikan’ oleh hubungan dua bagian dari berbagai ide. Metafora melibatkan sebuah pelintasan makna: suatu istilah diterangkan dengan menambahkan kepadanya sebuah asosiasi istilah lainnya. Keterbukaan jaringan asosiasi ini mencegah metafora ditafsirkan secara literal, karena itu tidak bisa dibatasi pada asosiasi-asosiasi tertentu saja. Saat metafora semakin berkembang, maka batas-batas semantik mitos semakin berkurang sehingga tidak dapat digantikan oleh pernyataan yang sepenuhnya literal. Tetapi ini hanya dalam kasus di mana mitos benar-benar bersifat mistis. Sehingga sangat keliru jika mitos dapat diekspresikan dengan cara lain. Kemisteriusannya terkandung di dalam jangkauan asosiasinya yang tidak terbatas, yang tidak bisa ditekan menjadi translasi literal tunggal.
Pada hakikatnya mitos bukan hal yang jelek, karena dengannnya kehidupan manusia mempunyai konteks makna yang berharga. Akan tetapi mitos menjadi potensi destruktif bila didudukkan sebagai kekuatan dan kemapanan hirarki sosial. Penyelewengan mitos sebagai kekuatan status quo ini akan membentuk rancangan ideologi kemapanan yang tangguh. Inilah yang oleh Arkoun disebut sebagai proses pemistikan, yakni penggunaan mitos yang bertentangan dengan fungsi dan maknanya. Inilah corak utama gaya berteologi (theologizing) masyarakat agama saat ini; bangkitnya neo-otodoksi bercanggah di atas kerangka paradigma di atas. Mitos dijadikan sebagai penyangga ideologi. Dan tidak mustahil bahwa tragedi-tragedi kemanusiaan akan terus berlangsung. Oleh karenanya adalah tugas berat bagi umat beragama untuk mencari paradigma baru yang compatible dalam memaknai kondisi agama saat ini.

II
Dalam tulisan saya yang berjudul Tuhan: Sebuah Realitas Budaya, saya mengatakan demikian:
Agama berawal dari kesadaran manusia tentang relasinya dengan suatu kuasa supranatural yang dialaminya secara nyata, baik itu melalui gejala alam atau melalui daya pikir. Dalam tradisi agama-agama, baik itu agama besar maupun agama suku, kesadaran akan kehadiran Realitas Tertinggi sangat jelas terasa. Kesadaran ini muncul karena ada sebuah kekuatan supranatural yang berada di luar kekuatan manusia. Kekuatan yang diresponi itu kemudian dipersonifikasikan dalam nama yang berbeda-beda. Respons itu juga tidak terlepas dari budaya dan tradisi yang berkembang dalam situasi masyarakat di mana agama ini mulai berkembang. Deskripsi tentang Realitas Tertinggi terkandung dalam teologi dan filsafat dari perbedaan tradisi-tradisi yang membicarakan secara harafiah tentang Tuhan mereka. Dengan demikian, Realitas Tertinggi itu menyatakan diri melalui berbagai jalan. Hal ini berarti semua agama mempunyai inti yakni suatu pengalaman akan Realitas Tertinggi; bahwa dengan jalan yang banyak, semuanya merupakan sarana-sarana yang dipakai oleh Tuhan untuk membuat diriNya hadir bagi manusia. Tuhan mempunyai “hakikat-hakikat” yang berbeda-beda, yang dinyatakan oleh tradisi-tradisi keagamaan yang berbeda-beda. Dari pemahaman di atas, Tuhan dapat diartikan sebagai nama yang diberikan kepada kuasa yang supranatural tersebut.
Jika demikian, agama adalah sesuatu yang independen dan otonom. Itu berarti agama bebas berkembang dan berlangsung dalam tatanan nilai yang dimiliki serta dipahami (diajarkan) oleh masing-masing kelompok. Ia tidak bisa dibatasi, apalagi diseragamkan, sebab penyeragaman agama adalah rediksionisme terhadap ajaran yang berbeda-beda. Setiap kelompok keagamaan memiliki kesempatan yang sama untuk hidup dan berkembang. Dalam kebersamaan yang demikian, maka beragama yang baik mesti dimengerti sebagai sebuah kerangka hidup bersama. Cara-cara beragama mesti dibangun di atas dasar budaya lokal, dengan tetap memaknai kebersamaan dan penghargaan atas nilai-nilai kemanusiaan. Bagaimana dengan Maluku? Beragama dalam konteks ke-Maluku-an orang Maluku bukan dilihat dari sejarah masuknya salah satu agama besar, tetapi kehidupan para leluhur yang mau berdampingan satu dengan yang lain dalam perbedaan tradisi, budaya, adat, jati diri dan sebagainya. Oleh karenanya, sangat mungkin harus dihindari penafsiran yang konvensional terhadap dokumen-dokumen keagamaan (alkitab, alquran dsb). Sebab hal ini dapat menimbulkan sikap fanatisme yang berujung pada konflik antar agama. Doktrin keagamaan mesti menjadi urusan rumah tangga agama itu. Doktrin agama tidak bisa dijadikan titik persinggungan antar agama. Yang harus ditetapkan dalam membangun keberagamaan adalah tema-tema yang sifatnya universal dan memanusiakan manusia yang arahnya untuk membangun hidup bersama.

Semoga jangan rusuh lagi…. PEACE.

Jumat, 05 Desember 2008

Tuhan : Sebuah Realitas Budaya

Oleh: Agus Lopuhaa

Setiap agama besar menawarkan konsep yang komprehensif tentang alam semesta, dan sepanjang gambaran tersebut dipercayai dan dibentuk dalam struktur disposisional, agama-agama besar tersebut secara otomatis mempengaruhi cara hidup umatnya.
Agama berawal dari kesadaran manusia tentang relasinya dengan suatu kuasa supranatural yang dialaminya secara nyata, baik itu melalui gejala alam atau melalui daya pikir. Dalam tradisi agama-agama, baik itu agama besar maupun agama suku, kesadaran akan kehadiran Realitas Tertinggi sangat jelas terasa. Kesadaran ini muncul karena ada sebuah kekuatan supranatural yang berada di luar kekuatan manusia. Kekuatan yang diresponi itu kemudian dipersonifikasikan dalam nama yang berbeda-beda. Respons itu juga tidak terlepas dari budaya dan tradisi yang berkembang dalam situasi masyarakat di mana agama ini mulai berkembang. Deskripsi tentang Realitas Tertinggi terkandung dalam teologi dan filsafat dari perbedaan tradisi-tradisi yang membicarakan secara harafiah tentang Tuhan mereka. Dengan demikian, Realitas Tertinggi itu menyatakan diri melalui berbagai jalan. Hal ini berarti semua agama mempunyai inti yakni suatu pengalaman akan Realitas Tertinggi; bahwa dengan jalan yang banyak, semuanya merupakan sarana-sarana yang dipakai oleh Tuhan untuk membuat diriNya hadir bagi manusia. Tuhan mempunyai “hakikat-hakikat” yang berbeda-beda, yang dinyatakan oleh tradisi-tradisi keagamaan yang berbeda-beda. Dari pemahaman di atas, Tuhan dapat diartikan sebagai nama yang diberikan kepada kuasa yang supranatural tersebut.
Ajaran monotheisme besar menegaskan bahwa “seperti langit yang berada di atas bumi, demikian juga begitu besar cinta (Tuhan Bangsa Israel) kepada orang-orang yang takut kepadaNya”. Atau bahwa Bapa di sorga dari Perjanjian Baru adalah Tuhan dengan cinta yang tiada batas; atau Allah mengungkapkan diri dalam Al-Quran sebagai Maha Pengasih dan Penyayang. Sebagian besar umat Hindu juga berpandangan theis, dan Bhagavad Gita mengatakan tentang Wisnu, bahwa Dia adalah “Penguasa Agung” alam semesta dan sahabat semua makhluk. Tetapi beralih kepada keimanan non-theistik, Hinduisme Advaitik menegaskan bahwa hakikat terdalam adalah realitas Brahman yang tanpa batas. Atau dalam Buddhisme ditegaskan bahwa sifat manusia yang sejati adalah sama dengan sifat Budha yang universal dari semesta dan manusia harus menjadi dirinya yang sebenarnya.
Masing-masing tradisi menarik garis perbedaan yang tegas antara keadaan yang darinya manusia diselamatkan atau dibebaskan, atau keadaan yang membuat manusia bangkit dengan keadaan yang lebih baik yang tanpa batas dan yang menunjukkan sebuah jalan.
Dalam berbagai jalan, yang menawarkan konsep pembebasan dan penyelamatan, merupakan sebuah gambaran yang nyata tentang pluralisme. Masing-masing agama dibangun dari cerita-cerita atau simbol-simbolnya. Tetapi dalam sebuah komunitas global yang modern, agama yang satu tidak bisa lepas dari yang lain dalam membangun hubungan bersama. Jika Kristen katakan bahwa tak ada nama lain jika ingin diselamatkan selain dalam nama Yesus; Yahudi melihat bahwa Allah memilih umatNya untuk menerangi dunia; Muslim melihat Muhammad sebagai nabi yang terakhir, yang didalamnya merupakan penyataan Allah yang terakhir; atau juga Hindu dan Buddha yang memahami konsep kebenaran terakhir; semuanya merupakan gambaran manusia dalam memahami Tuhan, yang menyatakan diri. Memahami Tuhan tidak terlepas dari budaya dan tradisi yang berkembang dalam situasi masyarakat di mana pemahaman ini mulai berkembang.
Dalam tradisi agama-agama besar, kesadaran akan kehadiran Tuhan sangat jelas terasa. Kesadaran ini muncul karena ada sebuah kekuatan supranatural yang berada di luar kekuatan manusia. Kekuatan yang diresponi itu kemudian dipersonifikasikan. Entah itu Yesus, Muhammad, Yahwe, Buddha, Krisna dan sebagainya.
Dalam kesadaran moral, sebagian besar setuju jika itu adalah kebebasan berpikir manusia dan kebebasan untuk mempertanggungjawabkannya. Sehingga tidak ada yang harus mengatakan bahwa kebenaran dalam agama lain adalah sesuatu yang salah, sebab jika ada yang melakukannya itu adalah suatu kebodohan.
Kesadaran manusia tentang Tuhan mengambil bentuk bermacam-macam, maka tidak semua kesadaran itu tersusun dalam konsep agama. Jika ada realitas ketuhanan, yang selalu dihadirkan dengan jelas, sejarah menunjukkan bahwa sementara realitas ini biasanya dialami dalam konteks keagamaan, ada kemungkinan realitas ini dialami, khususnya dalam kehidupan non religius, tanpa menggunakan konsep religius. Seperti misalnya dalam ajaran Marxis atau Mao yang melihat kebebasan manusia.
Tuhan dapat dibagi dalam dua konsep pemahaman yang berbeda. Konsep yang pertama adalah Tuhan sebagai dewa atau sebagai personal. Konsep ini banyak berada dalam agama-agama teistik. Konsep yang pertama berangkat dari kenyataan setempat dalam komunitas dan budaya. Tuhan hadir sebagai personal dalam relasi dengan komunitas masyarakat itu. Personal itulah yang kemudian dilihat sebagai gambaran tentang Tuhan. Konsep yang kedua adalah Tuhan sebagai yang Absolut atau kebenaran terakhir atau juga sebagai non-personal. Konsep seperti ini banyak dalam agama-agama non-teistik.
Tetapi tak satupun dari pengalaman di atas adalah Tuhan sendiri, meskipun semuanya merupakan manifestasi autentik dari Tuhan kepada manusia. Deskripsi tentang Tuhan terkandung dalam teologi dan filsafat dari tradisi-tradisi yang berbeda yang membicarakan secara harafiah (atau secara analogi) tentang Tuhan mereka, dan karena itu berbicara secara mitologis religius adalah kebenaran instrumental, yang terkandung di dalam kapasitasnya untuk membangkitkan dan mengembangkan respons manusia yang tepat kepada Tuhan.

Selasa, 25 November 2008

SEJARAH PERKEMBANGAN JEMAAT GPM MAKATIAN




A. Letak Geografis
Jemaat GPM Makatian terletak di pesisir barat pulau Yamdena dengan jarak tempuh 6 – 7 jam dengan menggunakan motor laut, merupakan bagian dari Klasis Tanimbar Selatan dan menjadi batas dengan Klasis Tanimbar Utara. Secara administratif pemerintahan, Desa Makatian adalah bagian dari Kecamatan Wermaktian Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Petuanan Desa Makatian adalah yang terbesar di seluruh pulau Yamdena, dengan batas-batas wilayah petuanan Makatian sebagai berikut:
- Sebelah barat berbatasan dengan Pulau Kesbui (petuanan Seira);
- Sebelah timur berbatasan dengan desa Arui;
- Sebelah selatan berbatasan dengan desa Wermatang;
- Sebelah utara berbatasan dengan desa Abat.
Batas wilayah yang demikian luas menjadikan Makatian memiliki hutan yang luas dengan keanekaragaman Flora dan Fauna serta memiliki tanah yang subur. Ditengah-tengah petuanan Desa Makatian mengalir Sungai Rmoye yang merupakan sungai terpanjang dan terbesar di pulau Yamdena. Kekayaan hayati yang dimiliki bukan hanya di darat, tetapi juga di laut yang dipenuhi dengan berbagai jenis teripang, lola, berbagai jenis ikan, udang dan sebagainya.

B. Demografi dan Bahasa
Penduduknya adalah orang-orang asli Makatian, walaupun juga ada para pendatang yang datang di Makatian karena perkawinan. Namun mereka itu (para pendatang) telah manjadi bagian dari orang Makatian. Makatian adalah satu-satunya desa yang menggunakan bahasanya sendiri (bahasa Makatian) di antara lima bahasa yang ada di kepulauan Tanimbar, yakni Bahasa Timur (pesisir timur pulau Yamdena dan Adaut juga Latdalam), Bahasa Selaru (seluruh desa di Selaru dan di Latdalam kecuali Adaut), Bahasa Selwasa (Batuputih, Wermatang, Marantutul), Bahasa Fordata (Seira dan sebelah utara pulau Yamdena) dan Bahasa Makatian sendiri.

C. Sejarah Masyarakat dan Jemaat
Nama asli Desa Makatian adalah Hnyo Matine (berasal dari kata Hnyo artinya kampung dan Matine artinya penjelmaan dari sesuatu yang belum ada menjadi ada). Nama Matine diambil dari nama moyang pertama orang Makatian yang hidupnya di goa istrinya bernama Bol. Mitos yang berkembang di Makatian bahwa Bol ini merupakan penjelmaan dari sejenis Pinang. Pada awalnya Matine hanya hidup seorang diri. Tiba-tiba dari pohon Pinang keluarlah seorang perempuan, dan Matine mengambilnya sebagai istri. Sampai saat ini, hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengetahui jenis pinang tersebut, terutama mereka yang bermarga Huninhatu. Pinang ini tidak bisa dimakan secara sembarangan, hanya digunakan dalam upacara adat tertentu dan hanya dari marga Huninhatu. Misalnya, upacara adat untuk pengambilan sumpah adat Kepala Desa bila ia berasal dari Marga Huninhatu.
Nama lain dari Makatian adalah Morbol Fuartutul. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka bertambah banyak, sehingga mereka memutuskan untuk mencari tempat tinggal yang lebih baik lagi dan keluar dari kehidupan di goa-goa. Dari mereka ini, lahirlah keturunan dengan marga Huninhatu (dari kata Hunine yang berarti tempat kediaman/rumah dan Hatue yang berarti batu). Berdasarkan cerita masyarakat sekitar tahun 1700-an ada beberapa marga yang bergabung dengan orang-orang Makatian (Layan, Manutmasa, Rumkedy, Manuhury, Basar, Kore, Rumenga) sehingga terbentuk komunitas yang lebih besar. Mereka terbagi atas dua Soa besar, yakni Soa Darat dan Soa Laut. Dalam bahasa Timur disebut dengan Soa Dai = Darat dan Soa Dol = Laut; Dalam Bahasa Makatian disebut dengan Soa Ryatu = Darat dan Soa Lote = Laut. Dari kedua Soa Besar terbagi atas beberapa anak soa lagi yakni Soa Darat terdiri atas soa Rbole dan Rmoye, sedangkan Soa Laut terdiri atas Soa Lote, Vatuk Mene, Saklia Inutun dan Kusali Kelbulan.
Saat itu masih terjadi peperangan antar suku sebagai bentuk mencari kekuasaan dan perluasan wilayah suku, mengakibatkan orang-orang Matine terus melakukan perjalanan mencari tempat yang lebih aman. Singgalah mereka di dua tempat yakni Wesoir dan Welebit. Di sinilah mereka diperkenalkan dengan Injil Yesus Kristus yang dibawakan oleh guru-guru Injil. Perjumpaan mereka dengan agama Kristen melalui proses yang cukup panjang, karena mereka masih trauma dengan peperangan antar suku. Pernah juga Joseph Kam dengan menggunakan kapal Dourga saat mengabarkan Injil di kepulauan Tanimbar datang ke Makatian, namun ia ditolak oleh orang-orang Makatian. Mereka selalu menanggap bahwa orang-orang asing yang bukan sesuku dengan mereka adalah musuh dan menimbulkan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat. Namun kesabaran dari para Guru Injil dapat menjadikan mereka memeluk agama Kristen. Berdasarkan catatan sejarah yang ada di jemaat, pembaptisan pertama terjadi pada tanggal 14 Oktober 1914 oleh Inlandsch Leraar Lopulalan dengan jumlah jiwa yang dibaptis sebanyak 45 orang. Namun sikap curiga masih tetap ada, sebab mereka dihadapkan dengan pemahaman yang sangat baru dan asing bagi mereka. Pada masa-masa awal itu, peperangan antar suku masih terus menghantui mereka. Orang-orang Makatian yang beribadah di Gereja masih membawa serta busur dan anak panah, tombak serta parang. Namun sejak Inlandsch Leraar Jacob Louhatu kebiasaan ini telah hilang. Atas kerjasama guru-guru Injil dan pemerintah Hindia Belanda, maka diamankanlah daerah di sekitar itu. Sehingga ada jaminan keamanan dan perlindungan dari peperangan antar suku yang diberikan, asalkan mereka mau memeluk agama Kristen.
Kekurangan Alkitab sangat dirasakan oleh orang-orang Makatian pada saat itu. Oleh karenanya, selain khotbah yang disampaikan, maka pendidikan katekisasi juga dilakukan walaupun masih dalam batasan yang sangat sederhana, yakni dengan mengajarkan Doa Bapa Kami, Sepuluh Hukum Taurat dan Pengakuan Iman Rasuli. Pendidikan katekisasi sendiri dimulai pada tahun 1922, dan setahun kemudian dilakukan peneguhan anggota sidi gereja (61 orang), tepatnya pada tanggal 27 September 1923 oleh Inlandsch Leraar Titawano. Pada tanggal 4 Oktober 1923, perjamuan pertama kali dilaksanakan.
Pada jaman pendudukan Jepang, jemaat Makatian pun merasakan dampak yang cukup besar. Mereka harus mengungsi ke Wesoir dan Welebit. Hal ini mengakibatkan beberapa dokumen jemaat seperti buku kelahiran dan buku nikah jemaat turut hilang. Tetapi peristiwa ini tidak berlangsung lama, karena peralihan kekuasaan dan Jepang sendiri tidak terlalu lama berkuasa di Makatian. Kembalinya mereka dari Wesoir dan Welebit, menunjukkan perkembangan yang positif, baik dari sisi pelayanan maupun perkembangan spiritual jemaat. Hingga saat ini jemaat Makatian adalah 100% warga Gereja Protestan Maluku

Selasa, 18 November 2008

SIKAP-SIKAP DALAM KEHIDUPAN BERAGAMA

Salah satu sikap yang menonjol dalam kenyataan kehidupan beragama adalah sikap yang eksklusif. Sikap ini sangat menonjol sebab banyak penganut agama yang melihat kehidupan keberagamaannya secara fundamental. Tetapi sikap ini bukanlah sikap yang satu-satunya. Secara umum ada tiga sikap terhadap kenyataan kehidupan beragama, yakni eksklusif, inklusif dan pluralis atau dialogis. Dalam pandangan eksklusif, kebenaran dan keselamatan hanya ada pada agamanya sendiri. Tidak ada kebenaran dan keselamatan dalam agama lain. Orang tidak akan diselamatkan kalau tidak mengakui agama saya. Agama-agama lain memang mempunyai banyak hal yang baik, tetapi tidak dapat memediasi keselamatan. Kalau sikap ini dikenakan pada agama Kristen, maka di luar Kristus atau gereja tidak ada keselamatan (extra eccllesiam nula salus). Dalam sikap ini ada upaya merendahkan agama-agama lain. Di samping itu jug dalam sikap eksklusif tidak melihat kenyataan, bahwa umat beragama bagaimanapun juga adalah manusiawi dan karena itu terbatas. Pandangan yang kedua adalah inklusif. Pandangan ini menerima kemungkinan adanya pewahyuan dalam agama-agama lain, yang juga menjadi mediasi keselamatan bagi mereka yang memeluknya. Namun keselamatan yang mereka terima melalui agama tertentu. Dengan kata lain, kalau dikenakan kepada agama Kristen, maka keselamatan dan kebenaran ada pada agama lain karena pekerjaan Kristus, sehingga mereka disebut sebagai Kristen Anonim. Mereka (agama-agama lain) sebenarnya adalah Kristen juga, tetapi mereka tidak mengetahuinya. Jika dibandingkan dengan sikap eksklusif, maka sikap ini lebih terbuka, akan tetapi ternyata tidak, karena kebenaran dan keselamatan dalam agama lain dilihat dalam kaca mata sendiri. Ada rasa simpati terhadap agama lain, tetapi kurang menempatkan agama lain sebagaimana dialami dan dipeluk oleh yang bersangkutan dengan kategori-kategori yang ada pada agama tersebut. Pandangan yang ketiga adalah pluralis atau dialogis. Pandangan ini beranggapan bahwa pada dasarnya semua agama memiliki kebenaran dan keselamatan, hanya pemahaman mereka saja yang berbeda-beda karena perbedaan budaya dan tradisi. Karenanya, semua agama dan penganutnya harus diterima sebagai agama yang benar pula. Dalam pandangan ini, pandangan dan sikap serta jati diri masing-masing dapat diungkapkan dan diperkembangkan. Yang diupayakan di sini adalah adanya perjumpaan visi dan orientasi yang hidup di antara umat beragama. Tidak ada yang dapat mengklaim bahwa agamanya yang paling benar. Namun kalau disikapi lebih lanjut, apakah yang akan dicapai oleh semua orang dengan sikap ini? Masalah yang akan muncul adalah mengapa seseorang harus peduli terhadap yang lainnya, karena kebenaran sudah ada pada orang tersebut? Akibatnya, yang terjadi adalah masing-masing berjalan sendiri-sendiri tanpa perlu terhadap yang lainnya. Pada akhirnya sikap ini tidak berbeda dengan sikap eksklusif.

Selasa, 11 November 2008

REALITAS BERAGAMA DI INDONESIA

Oleh: Agus Lopuhaa

1. Pluralisme Sebagai Tantangan Bersama
Bhineka Tunggal Ika: beraneka ragam, tetapi satu jua. Semboyan nasional ini dengan tepatnya menjelaskan realitas yang paling dalam dari Indonesia. Ia mencerminkan tekad untuk bersatu dari masyarakat yang mungkin merupakan masyarakat paling heterogen di dunia. Dan tekad untuk bersatu itu mencerminkan adanya ciri kebudayaan yang sama, di balik kemajemukan yang mencolok. Kebhinekaan atau kemajemukan Indonesia sepintas lalu memang jauh lebih menonjol dari kesatuannya. Oleh karena itu, bahaya disintegrasi selalu merupakan ancaman, baik riil maupun potensial. Kondisi objektif Indonesia telah membuat kesatuan dan integrasi sosial maupun nasional merupakan sesuatu yang sulit. Suatu kesan yang paling menonjol tentang negeri ini adalah kemajemukannya baik secara geografis maupun etnis. Tercatat ada sekitar 17.667 pulau besar dan kecil; serta 300 kelompok etnis dan 50 bahasa yang berbeda. Belum lagi termasuk keturunan Cina, Arab, India yang telah hidup lama. Di samping itu, dari sisi keagamaan, hidup agama-agama besar dan agama suku; juga dari sisi ekonomi, sistem sosial dan politik. Tentu saja hal ini sebenarnya berlaku juga bagi banyak negara di dunia ini. Namun, apa yang relatif khas pada Indonesia adalah komposisi dari kemajemukan primordialnya, pluralitas strukturalnya, serta kurangnya mekanisme penengah pada mana disintegrasi yang amat potensial itu berakar dan bermuara.
Pluralitas keagamaan adalah sebuah realitas dalam kehidupan masyarakat Indonesia dengan berbagai dimensinya. Secara garis besar, pluralisme keagamaan dapat dilihat dari kehadirannya berbagai agama yang menjadi anutan bangsa Indonesia; dan juga dalam masing-masing intern umat beragama sendiri terdapat berbagai aliran pemahaman dan pelembagaan keagamaan. Kedua fenomena ini dengan sendirinya menimbulkan problematikanya masing-masing yang cukup kompleks. Dasar dari pluralisme agama adalah sebagai akibat dari cara merespons penyataan Tuhan. Bahwa sesungguhnya agama berawal dari kesadaran manusia tentang relasinya dengan suatu kuasa yang transendental yang dialaminya secara nyata, baik itu melalui gejala alam, atau melalui daya pikir. Dengan demikian, Tuhan menyatakan diri melalui berbagai jalan, yang merupakan respons manusia terhadap diriNya. Respons itu terjadi dalam hubungan dengan konteks sosial di mana pemahaman itu berkembang. Pemahaman yang berkembang dalam realitas budaya yang berbeda itulah yang melahirkan agama, yang di dalamnya telah menciptakan pluralisme.
Di Indonesia hidup dan berkembang agama-agama besar dunia. Agama Islam berkembang dengan merata di seantero Nusantara sebagai anutan mayoritas rakyat Indonesia. Agama Kristen, baik Katolik maupun Protestan, datang secara lebih terorganisasi yang sekaligus memperkenalkan sistem organisasi modern kepada masyarakat Indonesia. Agama Hindu yang pertama kali datang memperkenalkan kehidupan berpemerintahan melalui sistem kerajaan yang melampaui batas-batas lokal. Agama Budha meninggalkan berbagai warisan monumental antara lain candi Borobudur dan lainnya. Kedatangan orang-orang Cina juga membawa agama Kong Hu Cu, yang dianut oleh masyarakat Tionghoa maupun penduduk lokal. Tidak sebatas agama-agama besar yang berasal dari luar saja, masih ada juga agama-agama asli/suku yang berkembang seiring dengan perkembangan agama-agama besar, walaupun tidak sehebat perkembangan agama-agama besar.
Semua hal yang telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa betapa pluralisme merupakan tantangan bersama. Oleh karena pluralisme merupakan sebuah fakta, dengan demikian tantangan yang dihadapi oleh masyarakat harus dihadapi secara bersama pula. Dan untuk menghadapi tantangan bersama itu, maka yang dibutuhkan adalah prinsip untuk saling menghargai, bahkan prinsip untuk selalu membangun hubungan (dialog) dengan orang lain. Dengan demikian, jika pluralisme adalah adanya hubungan saling bergantung antar berbagai hal yang berbeda, maka dalam pluralisme mengharuskan adanya dialog antar berbagai komponen masyarakat, entah itu agama, budaya dan sebagainya. Di dalamnya, keutuhan dan kebersamaan dijadikan sebagai acuan dalam membangun sebuah hubungan yang saling bergantung itu. Ketergantungan itu adalah prinsip hidup saling menghargai, tanpa harus melihat latar belakang apapun; saling menghargai perbedaan dan bukannya saling menyerang.

2. Realitas Beragama dalam Masyarakat Majemuk
Salah satu masalah yang muncul dalam bangsa-bangsa yang tidak homogen secara agama, seperti Indonesia, adalah hubungan antara agama dan politik. Masyarakat menciptakan sistem politiknya, telah melibatkan agama-agama ke dalamnya, demikian sebaliknya politik telah diteologisasi. Di masa lampau, juga saat ini, ketika pembangunan bidang ekonomi Indonesia merupakan target kedua atau ketiga dan interese politik serta pertentangan ideologis lebih banyak memberikan warna pada kegiatan pembangunan, maka kedudukan agama pun sentral dalam pertentangan ideologis-politis tersebut. Di saat itu, agama-agama berhadapan sebagai lawan politik yang tak bisa dihindari. Ia bahkan dimanipulasi sebagai dasar legitimasi dari pertentangan-pertentangan politik tersebut dengan perbedaan aspirasinya yang hampir absolut karena didukung oleh suatu semangat keagamaan yang absolut sifatnya.
Kenyataan ini telah menyadarkan setiap orang akan intensitas inter-penetrasi antara agama dan politik. Inter-penetrasi itu terjadi antara lain oleh karena kesadaran akan pentingnya kedua bidang hidup tersebut, dilihat dari segi politik, agama dianggap penting dan tidak bisa diabaikan, sebaliknya dari segi agama, politik dianggap semakin menentukan keberadaannya. Di satu pihak terjadi proses teologisasi politik, di mana politik dipikirkan dalam perspektif tanggung jawab etis-teologis; dengan peran korektif serta peran profetis agama-agama sebagai pendamping yang kritis terhadap dunia politik. Di pihak lain juga terjadi proses politisasi agama, di mana agama-agama hendak ditempatkan dalam kerangka tujuan serta aspirasi politik tertentu. Secara praktis maka dapat disaksikan bahwa kaitan antara pemerintah dan agama semakin erat. Erat dalam arti positif, tetapi juga negatif. Positif dalam arti bahwa keadaan itu menyebabkan terjadinya suatu interaksi dinamis dan bebas antara politik dan agama, sehingga keduanya bisa bertumbuh dewasa. Sedangkan negatif dalam arti apabila keduanya saling berhadapan selaku kekuatan ideologis yang absolut dan memaksa; dalam hubungan ini kehidupan politik bisa menjadi otoriter dan kehidupan agama tidak mampu melakukan perannya selaku sendi-sendi utama kekuatan moral masyarakat.
Bila terjadi hal demikian, agama-agama akan semakin kehilangan alasannya untuk tampil sebagai kekuatan korektif dalam masyarakat. Bukan hanya otonomi dan independensinya yang kian menipis, akan tetapi bersamaan dengan itu sumbangannya dalam kehidupan moral tidak akan bisa banyak diharapkan. Pada gilirannya apabila agama-agama semakin kehilangan dayanya sebagai kekuatan moral, maka dalam masyarakat akan hidup nilai-nilai yang dangkal dan lemah. Dengan itu masyarakat akan lekas lelah secara moral dan menyukai kekerasan. Apa yang diharapkan dari agama-agama adalah sebuah proses pemikiran ulang dengan memberikan perhatian kepada soal-soal kemanusiaan bersama, sekalipun tetap dengan menggali kaidah etik dan moral dari agama. Pendekatan terhadap berbagai realitas masyarakat yang majemuk harus lebih terbuka, yaitu memandang diri sendiri selaku faktor komplementer dari kebulatan persoalan kemanusiaan yang lebih besar dan komprehensif. Tidak lagi membangkitkan semangat primodial yang menimbulkan sifat-sifat tertutup terhadap unsur-unsur luar yang dianggap asing dan mengancam. Yang dibutuhkan adalah memikirkan hubungan antar agama dalam suatu semangat untuk memikirkan makna pluralisme secara lebih serius dalam tradisi keagamaan masing-masing. Juga upaya membangun kembatan-jembatan spiritual-intelektual untuk memikirkan kembali relasi-relasi antara agama yang lebih sesuai dengan konteks persoalan kemanusiaan yang lebih mendesak dan menentukan pada masa sekarang ini.
Bagi masyarakat majemuk seperti Indonesia, upaya untuk merumuskan kesepakatan demi kesepakatan nilai tidak semudah membalik telapak tangan. Setiap masyarakat selalu mempunyai kecenderungan besar untuk mempertahankan keunikannya, entah itu agama, budaya dan sebagainya. Sebabnya karena eksistensi suatu masyarakat itu amat ditentukan oleh kemampuannya mempertahankan integritas/keutuhannya. Upaya untuk mempertahankan integritasnya itu dilakukan secara alamiah, ketika ia menghadapi tantangan atau desakan peradaban dari luar. Namun jika upaya menghindari ini terus dilakukan, maka upaya ini akan membawa Indonesia secara pelan namun pasti ke arah disintegrasi.