Pengujian terhadap teks yang berkonotasi kolonial atau pertanyaan terhadap penafsiran yang bertujuan kolonial tidak semuanya baru. Roy Sano, seorang penulis Asia-Amerika di tahun 1979-an, memberikan pengakuan tentang bagaimana kategori kekaisaran dalam pikiran dan tindakan orang-orang kristen. Mereka berbicara tentang fakta-fakta kejahatan dan sekalipun mereka berbicara tentang institusi atau kejahatan yang tersistematis, mereka telah gagal menggunakan kategory kekaisaran sebagai prinsip organisasi, banyak kehilangan kedudukan kekuasaan di negara mereka. Roy Sano juga berbicara dari perspektif kehidupan suatu komunitas yang tersebar; suatu komunitas dengan status sebagai pendatang di Amerika. Mereka digambarkan dengan wajah-wajah negatif sebagai imigran. Sano merujuk kepada cerita-cerita Alkitab mengembalikan status mereka dari ketidakpastian. Ia lalu menggunakan Rut dan Ester sebagai tokoh yang berhasil memperbaharui indentitas mereka, sekalipun hal itu sangat beresiko bagi kehidupan mereka. Sano juga menemukan dalam tulisan-tulisan apokaliptik tentang peranan para nabi dalam dua hal, yakni kemapanan nation-state dan memiliki akses kepada kekuasaan. Tulisan-tulisan apokaliptik ini di satu sisi sesuai dengan para imigran sebab tulisan-tulisan ini dimunculkan pada sejarah Israel saat mereka kehilangan kedaulatan sebagai suku bangsa. Sano berpikir, hal ini dapat memberikan kesadaran baru bagi orang Asia-Amerika.
Dengan cara yang serupa, Samuel Rayan, seorang teolog berkebangsaan India di tahun 1980-an meninjau implikasi hermeneutik dari politik, budaya, dan imperialisme ekonomi oleh USA, Rusia, Eropa dan Jepang. Ia melihat kembali kepada Yesus dengan orang-orang Roma. Rayan mengakui bahwa Yesus tidak menciptakan konflik dengan penguasa Roma, tetapi kemarahannya secara langsung ditujukan kepada penjajahan orang-orang Israel yang berkolaborasi dengan kekaisaran Roma. Dalam studinya tentang peristiwa tribute-money, Rayan menampilkan bagaimana pada saat puncak kolonialisme modern, penafsiran alkitab ditujukan kepada sikap anti Zelot dan pro Roma, kemudian selama periode dekolonisasi setelah Perang Dunia II, dianjurkan sikap anti imperialisme dan penegasan terhadap kebebasan.