Minggu, 07 Maret 2010

Teologi Pluralis John Hick

Bab keempat dalam buku God Has Many Names karya John Hick barangkali merupakan yang paling krusial diantara bab-bab lainnya. Bab itu diberi judul ‘Whatever Path Men Choose is Mine’, yang di akhir uraiannya dijelaskan bahwa ungkapan itu dikutipnya dari Bhagavad Gita yang diterjemahkan oleh R. C. Zaehner. Dalam bab ini, John Hick meletakkan dasar-dasar pemikiran yang mendasari bangunan pluralisme miliknya sendiri.


Hick memulai uraiannya dengan mengungkapkan pandangannya terhadap dunia Barat-Kristen tempat ia hidup dan pandangannya terhadap umat beragama lainnya. Menurutnya, masyarakat Barat telah hidup dalam batas-batas budaya Kekristenan (the cultural borders of Christendom) dan batas-batas kerohanian yang dibuat oleh Gereja (the ecclesiastical borders of the Church). Dari sini, Barat-Kristen mengirimkan misionarisnya ke seluruh penjuru dunia untuk mengkristenkan dunia yang kurang beruntung (karena belum dikristenkan).

Akan tetapi, lanjutnya, masyarakat Barat juga sudah mulai menyadari hal lain seiring meluasnya pergaulan di dunia internasional. Sementara populasi umat Kristen terus bertambah, prosentase umat Kristen di dunia justru terus menurun. Ini terjadi karena ledakan jumlah penduduk yang lebih banyak terjadi di luar peradaban Barat-Kristen daripada di dalamnya. Hal ini membuat Hick bertanya-tanya: apa benar Tuhan berkehendak agar seluruh umat manusia menjadi Kristen?

John Hick melanjutkan uraiannya pada sebuah fakta lain. Menurutnya, sebagian besar (menurut Hick adalah sebesar 98 atau 99 persen) manusia memeluk agama sesuai dengan tempat kelahirannya. Jika seseorang lahir dari orang tua Muslim di Mesir atau Pakistan, maka kemungkinan besar ia akan menjadi Muslim hingga akhir hayatnya. Demikian juga jika seseorang lahir dari orang tua yang beragama Budha di Sri Lanka atau Burma, maka besar kemungkinan ia akan terus menjadi umat Budha. Menurut Hick, para teolog (pemuka agama) di masa lalu gagal memahami fenomena ini sehingga berpendapat bahwa keselamatan yang diberikan oleh Tuhan hanya terdapat dalam satu untaian saja dalam hidup manusia, yaitu sebagaimana yang tertulis dalam kitab suci umat Kristiani.

Selasa, 02 Maret 2010

ETIKA GLOBAL

“Apa yang kamu tidak ingin orang lain melakukan kepadamu, jangan lakukan pada orang lain” (Golden Rule of Global Ethic)
Prolog: Dari Mana Memulainya
Tanggal 28 Agustus sampai 5 September 1993, di kota Chicago dilaksanakan Parlemen Agama-agama Dunia (Parlement of the World’s Religions – PWR). Parlemen ini menghasilkan sebuah dokumen penting yang disebut MENUJU SEBUAH ETIK GLOBAL: SEBUAH DEKLARASI AWAL (Towards a Global Ethic: An Initial Declaration). Pertemuan ini adalah pertemuan antar – iman yang membicarakan krisis kemanusiaan yang telah berlangsung selama berabad, sehingga mampu memberikan suatu nuansa baru dalam usaha-usaha membangun dialog antar iman, apalagi pendekatan-pendekatan yang selama ini ditempuh mengalami kemacetan/gagal. Kegagalan pertama adalah kenyataan bahwa perjumpaan antar iman hanya berputar pada ranah dogmatis. Dialog terjebak dalam kemandulan untuk bersuara konkret pada kenyataan hidup. Jurang antara refleksi dogmatis dan praksis etis semakin melebar. Sedangkan yang dibutuhkan dalam sebuah etik global adalah dialog dalam tataran praksis, dialog dalam menghadapi persoalan etis bersama, sebagai sesama saudara penghuni bumi. Kegagalan kedua, perjumpaan antar iman hanya menjadi wacana/diskursus intelektual di kalangan tertentu dan dengan demikian tercabut dari kehidupan konkret umat beriman yang secara langsung bersentuhan dengan penganut agama lain. Kegagalan ketiga, perjumpaan antar iman semata-mata menjadi proyek resmi yang dilansir oleh pihak pemerintah, namun justru tidak didasarkan pada kesadaran yang menjadi keharusan iman itu sendiri. Dengan kata lain, dialog antar iman hanya semata-mata menjadi komoditas politik penguasa. Kegagalan keempat, agama-agama dalam perjalanannya menjadi agen (bahkan sumber) dari konflik sosial.