Jumat, 27 November 2009

MANUSIA

Harus diakui bahwa pertanyaan tentang hakiat manusia telah menjadi bahas studi dari berbagai disiplin ilmu mulai dari filsaat, sosiologi, psikologi, anthropologi, biologi bahkan teologi. Namun hasil studi dan percakapan tentang hakikat manusia masih saja menyisahkan misteri. Artinya, selalu ada sisi-sisi dari kehidupan manusia yang tak seluruhnya dapat dijemput tuntas oleh disiplin ilmu yang manapun juga.
Cerita dalam kitab Kejadian tentang penciptaan memberikan kepada manusia tempat mulia dalam alam semesta. Penciptaan manusia tidak hanya merupakan penutup dari segenap karya Allah, tetapi dalam penciptaan manusia itu sendiri terkandung penggenapan dan makna dari seluruh pekerjaan Allah pada kelima hari lainnya. Manusia diperintahkan memenuhi bumi dan menaklukkannya, dan bahkan berkuasa atas semua makhluk. Kesaksian yang sama tentang kekuasaan manusia dan tentang tempatnya yang sentral di alam ciptaan ini.
Dalam seluruh Alkitab ditekankan bahwa mannusia adalah bagian dari alam ini. Manusia ialah debu dan diciptakan dari debu tanah; secara biologis dan badani ia mempunyai banyak kesamaan dengan binatang. Semuanya ini nampak jelas dalam banyak segi hidup manusia. Manusia sebagai daging adalah lemah dan bergantung pada belas kasihan Allah; sama seperti semua makhluk lainnya. Bahkan dalam memanaatkan alam untuk melayani kebutuhannya, manusia harus melayani alam ini, harus menjaganya dan mengolahnya untuk mencapai tujuannya. Manusia tunduk kepada hukum-hukumyang sama, seperti kaidah alam, dan ia dapat terpesona di tengah-tengah keagungan dunia yang menjadi tempat hidupnya.
 
I. Tujuan Manusia
Manusia mempunyai sejarah dan masa depan yang harus digenapi, unik di tengah-tengah makhluk dan ciptaan lainnya. Kitab Kejadian mencatat bahwa waktu Allah menciptakan manusia, ia mengambil sikap yang menunjukkan perhatian yang sangat pribadi dan mendalam terhadap manusia itu. Dan cara pendekatan Allah ialah melibatkan diri-Nya dalam hubungan yang lebih erat dengan manusia ciptaan-Nya itu, dibandingkan dengan makhluk ciptaan yang lain. Allah mendekati manusia dengan menyapa 'engkau', dan manusia dimampukan menanggapi ucapan Allah yang penuh kasih itu dengan kasih pribadi dan kepercayaan. Hanya dalam jawaban demikianlah manusia bisa menjadi 'apa sebenarnya dia'. Firman Allah yang olehnya manusia hidup, menempatkan manusia dalam suatu hubungan yang meninggikan dia di atas semua ciptaan lain di sekelilingnya, dan mengaruniakan kepadanya martabat sebagai anak Allah, yang diciptakan menurut citra Allah dan memantulkan kemuliaan Allah. Manusia memiliki martabat ini bukan sebagai perseorangan terisolir di hadapan Allah, tapi hanya jika ia berada dalam hubungan yang bertanggung jawab dan penuh kasih terhadap sesamanya manusia. Hanya bila ia berada di tengah-tengah lingkungan keluarganya dan dalam hubungan sosialnya, ia dapat betul-betul memantulkan citra Allah.

II. Struktur Manusia
Ada beberapa kata yang dipakai untuk menerangkan hubungan manusia dengan Allah dan alam sekitarnya, juga tentang struktur dirinya sendiri. Kata-kata itu ialah: roh (Ibrani: ruakh, Yunani: pneuma), jiwa (Ibrani: nefesy, Yunani: psuche), badan (Yunani: soma), daging (Ibrani: basar, Yunani: sarx). Kata-kata ini dipakai bertalian dengan aneka ragamnya kegiatan manusia atau kepribadiannya, masing-masing dengan tekanannya yang khas; tapi kata-kata itu tidak boleh diartikan mengacu pada bagian-bagian yang terpisah-pisah, atau bagian-bagian yang dapat dipisah-pisahkan, seolah-olah yang satu dapat ditambahkan kepadayang lain untuk menciptakan seorang manusia.
Kata 'jiwa' boleh jadi menekankan unsur perseorangan dan kuasa hidup manusia itu, dengan penekanan pada hidup batinya, perasaannya dan kesadaran dirinya. Kata 'badan' dipakai untuk menekankan kaitan sejarah dan lahiriah yang mempengaruhi hidupnya. Tetapi jiwa ialah jiwa, yang memang harus disatukan dengan badanya, dan demikian sebaliknya. Manusia juga mempunyai hubungan dengan Roh Allah sehingga ia sendiri mempunyai roh, tapi sekalipun demikian manusia tidak bisa disebut suatu roh, dan roh juga tidak dianggap sebagai unsur ketiga dari diri manusia. Manusia sebagai 'daging' ialah manusia dalam hubungannya dengan dunia alam dan dengan umat manusia sebagai keseluruhan, tidak hanya dalam kelemahannya tetapi juga dalam kedosaannya dan pemberontakannya terhadap Allah.

III. Hakikat Manusia
Dalam bagian ini, akan dikemukakan beberapa pokok antropologi Alkitab tentang manusia sebagai titik tolak untuk memahami hakikat manusia.
Pertama, manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Kesaksian Alkitab yang paling awal tentang manusia adalah manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Manusia tidak terjadi dengan sendirinya melalui proses evolusi. Manusia diciptakan berbeda dari makhluk hidup lain termasuk kera dan karenanya bukan keturunan kera. Sebagai ciptaan Tuhan maka Tuhan adalah sumber hidup dan Tuhan berdaulat atas kehidupan dan tujuan hidup manusia. Sebagai makhluk, manusia tidak akan pernah sama dengan penciptanya. Betapa hebatnya potensi rasional manusia, ia tetap makhluk dengan segala keterbatasannya. Sebab itu manusia perlu mensyukuri kemakhlukan yang diciptakan berbeda dengan makhluk lain, namun dibalik keistimewaannya, ada tanggung jawab.
Kedua, manusia sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk sosial menunjuk kepada kecenderungan manusia yang tetap untuk berorientasi terhadap sesamanya manusia. Orientasi yang tetap ini mengambil bentuk dalam terciptanya berbagai pranata sosial mulai dari yang paling sederhana seperti keluarga sampai kepada yang sangat kompleks seperti Negara dsb. Realitas itu dapat membuktikan bahwa sesungguhnya manusia mempunyai kebutuhan sosial atau kebutuhan akan relasi-relasi sosial. Lebih jauh lagi, manusia juga menciptakan norma-norma sosial yang mengatur perilaku dalam kaitannya dengan relasi-relasi sosial a.l. seperti kepercayaan, nilai-nilai dsb. Manusia tidak bisa menjadi orang percaya sendirian, tetapi selalu dan bersama dengan orang lain. Agama tidak boleh hanya mementingkan dimensi vertikal saja dalam aktivitas keagamaannya, melainkan juga harus memberi tempat yang sentral terhadap dimensi horisontal, atau sesama manusia dan makhluk ciptaan yang lain. Oleh karena itu, identitas agama, suku atau ras tidak menjadi tembok pemisah antar manusia, sebaliknya menjadi pendorong untuk terciptanya hubungan sosial yang harmonis karena identitas universal kemanusiaan yang sama yakni sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Ketiga, manusia sebagai makhluk rasional. Bahwa manusia diciptakan berbeda dari makhluk lain sudah jelas manusia memiliki potensi rasional. Potensi ini memungkinkan manusia dapat mengembangkan kebudayaan dalam arti luas. Fakta ini menjadi sangat jelas dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Potensi inilah yang membawa manusia pada kemajuan iptek sampai pada tingkat yang canggih dewasa ini. Tetapi kemudian, sebagai makhlik rasional tidak menjadikan manusia bersifat tamak dengan mengeksploitasi alam semau manusia. Sebab jika manusia tidak bertanggung jawab memelihara alam, maka alampun tak akan memelihara manusia.
Keempat, manusia sebagai makhluk etis. Sebagai makhluk etis manusia mempunyai potensi dan kapasitas untuk mempertanyakan dan membedakan apa yang baik, benar dan sebaliknya. Manusia tidak saja mampu membedakan mana yang baik dari yang tak baik secara etis, namun manusia juga mempunyai kebebsan untuk memilih yang baik atau yang buruk. Manusia mempunyai kebebasan untuk memilih sekaligus mempertanggungjawabkan pilihannya. Semua relasi manusia, apakah dengan Tuhan, sesama dan alam semesta ini ada nilai-nilai etis yang mengatur hubungan itu: sejauh manakah hubungan itu bertanggung jawab atau sebaliknya. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar