Selasa, 02 Maret 2010

ETIKA GLOBAL

“Apa yang kamu tidak ingin orang lain melakukan kepadamu, jangan lakukan pada orang lain” (Golden Rule of Global Ethic)
Prolog: Dari Mana Memulainya
Tanggal 28 Agustus sampai 5 September 1993, di kota Chicago dilaksanakan Parlemen Agama-agama Dunia (Parlement of the World’s Religions – PWR). Parlemen ini menghasilkan sebuah dokumen penting yang disebut MENUJU SEBUAH ETIK GLOBAL: SEBUAH DEKLARASI AWAL (Towards a Global Ethic: An Initial Declaration). Pertemuan ini adalah pertemuan antar – iman yang membicarakan krisis kemanusiaan yang telah berlangsung selama berabad, sehingga mampu memberikan suatu nuansa baru dalam usaha-usaha membangun dialog antar iman, apalagi pendekatan-pendekatan yang selama ini ditempuh mengalami kemacetan/gagal. Kegagalan pertama adalah kenyataan bahwa perjumpaan antar iman hanya berputar pada ranah dogmatis. Dialog terjebak dalam kemandulan untuk bersuara konkret pada kenyataan hidup. Jurang antara refleksi dogmatis dan praksis etis semakin melebar. Sedangkan yang dibutuhkan dalam sebuah etik global adalah dialog dalam tataran praksis, dialog dalam menghadapi persoalan etis bersama, sebagai sesama saudara penghuni bumi. Kegagalan kedua, perjumpaan antar iman hanya menjadi wacana/diskursus intelektual di kalangan tertentu dan dengan demikian tercabut dari kehidupan konkret umat beriman yang secara langsung bersentuhan dengan penganut agama lain. Kegagalan ketiga, perjumpaan antar iman semata-mata menjadi proyek resmi yang dilansir oleh pihak pemerintah, namun justru tidak didasarkan pada kesadaran yang menjadi keharusan iman itu sendiri. Dengan kata lain, dialog antar iman hanya semata-mata menjadi komoditas politik penguasa. Kegagalan keempat, agama-agama dalam perjalanannya menjadi agen (bahkan sumber) dari konflik sosial.


Etika Global: Tanggung Jawab Global
Etika Global bermula dari asumsi bahwa sebagai manusia kita telah terllibat dalam masyarakat global, entah kita mengetahuinya atau tidak; entah kita menyukainya atau tidak. Dengan kata lain, etika global merupakan sebuah tanggapan etis terhadap konteks global yang baru. Tanggapan etis ini dianggap bermanfaat bagi keseluruhan, yaitu bagi manusia, alam dan keseluruhan yang ada di planet ini, yang merupakan titik berangkat yang normatif. Dengan memahami kenyataan global, kita dimungkinkan untuk menuju masa depan, menuju apa yang secara ideal dicita-citakan bersama. Sebab pada dasarnya, etika global mengacu pada sikap moral manusia yang paling mendasar. Ciri-ciri dari etika global adalah:
1. Etika global masuk dalam level etis yang paling mendasar, nilai-nilai yang mengikat, serta sikap-sikap dasariah yang paling fundamental.
2. Etika global menjadi sebuah konsensus bersama agama-agama, namun tidak terhisab dalam satu tradisi iman tertentu. Karena etika global bukan bertujuan menciptakan suatu agama tunggal (a unified religion), melainkan semua agama memberikan sumbangsihnya terhadap persoalan bersama.
3. Etika global bersifat otokritik. Artinya, ia bukan hanya mengalamatkan pesannya kepada dunia, tetapi juga pada agama-agama itu sendiri. Hal ini penting karena agama pada dirinya bersifat paradoksal, satu sisi ia berpotensi mengupayakan kemanusiaan sejati, namun di sisi lain berpotensi pula melegitimasi segala bentuk ketidakadilan dan perendahan nilai kemanusiaan.
4. Etika global terkait dan berpijak pada kenyataan dan isu kongkret.
5. Etika global dapat dipahami secara umum. Itu berarti, etika global bukan menjadi suatu diskursus ilmiah pada kalangan tertentu. Semuanya harus dijelaskan dan dapat dipahami dalam setiap lapisan masyarakat.
6. Etika global harus memiliki pendasaran religius. Artinya, semua agama-agama baik itu agama-agama besar maupun agama suku menjadi dasar untuk menopang etika global. Dengan kata lain, pada saat yang sama etika global dapat dipandang oleh setiap agama dari dalam masing-masing tradisi yang ada.

Dari ciri-ciri di atas, maka etika global memiliki empat dimensi aktual yang menjadi realitas hidup global, yaitu:
1. Dimensi Kosmis (Manusia dengan Alam)
Isu ekologis ini menuntut suatu cara hidup global baru yang tidak hanya berfokus pada produktivitas, namun juga solidaritas dengan lingkungan hidup. Cara hidup tersebut harus berpusat pada sebuah komunitas seluruh ciptaan. Visi ekologis ini sekaligus menyiratkan kritik etis atas realitas ekologis yang sedang dialami secara global oleh bumi ini, seperti pengrusakan alam, global warming/climate change, kelaparan, punahnya spesies tertentu, peperangan dsb.
2. Dimensi Antropologis (Laki-laki dan Perempuan)
Isu gender menjadi perhatian serius dalam mewujudkan etika global. Dunia pada masa kini dipandang masih diwarnai sistem hubungan yang terlalu patriarkis; laki-laki pada kodratnya dianggap memang lebih unggul ketimbang perempuan. Sistem patriarkis ini lebih jauh dilihat sebagai sumber dari banyak realitas hidup yang amat tidak manusiawi: eksploitasi laki-laki atas perempuan, pelecehan seksual anak-anak, serta pelacuran. Tanggung jawab global seharusnya membawa serta cara hidup baru yang lebih mengusahakan kesetaraan dan kesederajatan. Dengan kata lain, ada komitmen kuat pada sebuah budaya yang setara hak dan kerja sama antara laki-laki dan perempuan.
3. Dimensi Sosio-Politis (Kaya dan Miskin)
Kemiskinan yang terjadi di seluruh dunia, penyebab utamanya bukan hanya pada individu-individu. Institusi-institusi dan struktur-struktur yang tidak adil juga menjadi penyebab atas tragedi kemiskinan. Kesenjangan yang terjadi antara penguasa dan rakyat semakin meluas mengakibatkan akses ekonomi semakin lemah. Atas nama investasi, maka kaum borjuis menguasai perekonomian yang tak terkendali tanpa memberikan penguatan pada ekonomi lokal yang dikelola secara langsung oleh rakyat. Jika penguasa dengan “mesin politik” yang haus kekuasaan tetap berlangsung, maka penguasa tidak lagi pro rakyat. Akibatnya, penindasan dan eksploitasi atas nilai-nilai kemanusiaan tetap berlangsung. Kesejahteraan hanya menjadi pemanis bibir pada saat berkampanye untuk mencari kekuasaan. Politik seharusnya menjadi alat untuk mengabdi pada kemanusiaan; mengupayakan perjuangan melawan kemiskinan dan ketidakadilan global.
4. Dimensi Religius (Manusia dan Tuhan)
Hubungan yang terbangun ini ada dalam lembaga-lembaga agama. Oleh karenanya, tidak ada alasan dari semua agama untuk menjadi alat pemicu konflik atas dasar dogma yang berbeda. Semua agama memiliki jalan tersendiri, namun menuju kepada satu tujuan yakni Tuhan. Dengan demikian, maka toleransi harus menjadi dasar hidup bersama penganut agama.

Prinsip dari etika global yakni setiap manusia harus diperlakukan manusiawi. Berdasarkan prinsip ini dan golden rule di atas maka harus ada komitmen pada sebuah budaya tanpa kekerasan dan penghargaan pada kehidupan; komitmen pada sebuah budaya solidaritas dan sebuah tata ekonomi yang adil; komitmen pada sebuah budaya toleransi dan sebuah kehidupan dalam kebenaran; dan komitmen pada sebuah budaya hak-hak yang setara dan kerja sama antara laki-laki dan perempuan.

Epilog: Nilai Moral Global
Tidak ada peluang kehidupan bagi manusia tanpa perdamaian global. Tidak ada perdamaian global tanpa keadilan global. Tidak ada keadilan global tanpa rasa saling percaya dan kemanusiaan. Tidak ada kemanusiaan otentik tanpa sebuah kehidupan bersama dalam kerja sama. []
Diambil dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar