Minggu, 07 Maret 2010

Teologi Pluralis John Hick

Bab keempat dalam buku God Has Many Names karya John Hick barangkali merupakan yang paling krusial diantara bab-bab lainnya. Bab itu diberi judul ‘Whatever Path Men Choose is Mine’, yang di akhir uraiannya dijelaskan bahwa ungkapan itu dikutipnya dari Bhagavad Gita yang diterjemahkan oleh R. C. Zaehner. Dalam bab ini, John Hick meletakkan dasar-dasar pemikiran yang mendasari bangunan pluralisme miliknya sendiri.


Hick memulai uraiannya dengan mengungkapkan pandangannya terhadap dunia Barat-Kristen tempat ia hidup dan pandangannya terhadap umat beragama lainnya. Menurutnya, masyarakat Barat telah hidup dalam batas-batas budaya Kekristenan (the cultural borders of Christendom) dan batas-batas kerohanian yang dibuat oleh Gereja (the ecclesiastical borders of the Church). Dari sini, Barat-Kristen mengirimkan misionarisnya ke seluruh penjuru dunia untuk mengkristenkan dunia yang kurang beruntung (karena belum dikristenkan).

Akan tetapi, lanjutnya, masyarakat Barat juga sudah mulai menyadari hal lain seiring meluasnya pergaulan di dunia internasional. Sementara populasi umat Kristen terus bertambah, prosentase umat Kristen di dunia justru terus menurun. Ini terjadi karena ledakan jumlah penduduk yang lebih banyak terjadi di luar peradaban Barat-Kristen daripada di dalamnya. Hal ini membuat Hick bertanya-tanya: apa benar Tuhan berkehendak agar seluruh umat manusia menjadi Kristen?

John Hick melanjutkan uraiannya pada sebuah fakta lain. Menurutnya, sebagian besar (menurut Hick adalah sebesar 98 atau 99 persen) manusia memeluk agama sesuai dengan tempat kelahirannya. Jika seseorang lahir dari orang tua Muslim di Mesir atau Pakistan, maka kemungkinan besar ia akan menjadi Muslim hingga akhir hayatnya. Demikian juga jika seseorang lahir dari orang tua yang beragama Budha di Sri Lanka atau Burma, maka besar kemungkinan ia akan terus menjadi umat Budha. Menurut Hick, para teolog (pemuka agama) di masa lalu gagal memahami fenomena ini sehingga berpendapat bahwa keselamatan yang diberikan oleh Tuhan hanya terdapat dalam satu untaian saja dalam hidup manusia, yaitu sebagaimana yang tertulis dalam kitab suci umat Kristiani.

Sekarang ini, toko-toko buku telah dipenuhi oleh buku-buku yang membahas masalah sejarah agama, fenomenologi agama dan studi perbandingan agama. Menurut John Hick, hanya orang yang memilih untuk tidak mau tahu (ignorant) sajalah yang bisa membanggakan ketidaktahuannya tentang agama-agama selain yang dianutnya. Hick mengejek Parson Thwackum yang pada abad kedelapan belas pernah berkata: “When I mention religion, I mean the Christian religion; and not only the Christian religion, but the Protestant religion; and not only the Protestant religion, but the Church of England.” (“Jika saya menyebut agama, maksud saya adalah agama Kristen; dan bukan sekedar agama Kristen, melainkan agama Protestan; dan bukan sekedar Protestan, melainkan Gereja Inggris.”)

Hal paling penting yang seharusnya membuka mata peradaban Barat-Kristen, menurut Hick, adalah imigrasi besar-besaran bangsa Asia ke Inggris yang terjadi sejak tahun 1950-an. India, Pakistan dan Bangladesh telah berkontribusi menambah populasi umat Islam, Hindu dan Sikh, sehingga Yahudi tidak lagi menjadi umat non-Kristen satu-satunya di benua Eropa. Hick mengajukan beberapa pertanyaan kepada rekan-rekannya sesama warga Barat-Kristen: Haruskah kita menolong umat Muslim, Sikh dan Hindu untuk mencari tempat untuk mereka beribadah? Perlukah kita menjual gedung-gedung gereja yang tak terpakai kepada mereka? Apakah siaran-siaran keagamaan lokal harus menyertakan mereka, atau tidak? Haruskah kita memaksa setiap siswa untuk mengikuti pelajaran agama Kristen, tanpa mempedulikan agama yang mereka dan orangtuanya anut?

John Hick kemudian mengatakan bahwa di dalam rumah-rumah peribadatan agama-agama selain Kristen sebenarnya terjadi hal yang sama dengan yang biasa terjadi di Gereja. Pada prinsipnya, di rumah-rumah peribadatan itu, manusia berkumpul bersama untuk membuka pikiran mereka terhadap sebuah realitas yang lebih tinggi (human beings are coming together to open their minds to a higher reality). “Higher reality” yang dimaksud di sini adalah Sang Pencipta dan Penguasa alam semesta, dan yang menuntut nilai-nilai moral tertentu dalam hidup manusia. Menurut pendapat Hick, perbedaannya memang bisa terlihat, namun tidak esensial. Di gereja, orang mengenakan sepatu dan tanpa topi, sedangkan di masjid, gurudwara dan kuil, orang boleh mengenakan topi namun tidak boleh mengenakan sepatu. Di sinagoga, keduanya tak boleh dikenakan. Di suatu rumah ibadah kita duduk di kursi, di rumah ibadah yang lain kita duduk di lantai. Ibadah yang satu dilakukan dengan bernyanyi, yang lain tidak. Yang satu menggunakan alat musik, yang lain tidak. Dan yang paling penting, yang mereka sembah itu disebut Tuhan (God) di dalam gereja Kristen, disebut Adonai di dalam sinagoga Yahudi, disebut Allah di dalam masjid Muslim, disebut Ekoamkar di dalam gurudwara Sikh, dan disebut Rama atau Krishna di dalam kuil Hindu. Namun lagi-lagi, menurut John Hick, peribadatan mereka secara esensial sama saja.

Hick kemudian mengajukan sebuah pertanyaan penting setelah melihat ‘sekian banyak kesamaan’ di antara agama-agama tersebut: apakah orang-orang di gereja, sinagoga, masjid, gurudwara dan kuil itu menyembah tuhan yang berbeda-beda atau Tuhan yang sama? Apakah God, Adonai, Allah, Ekoamkar, Rama dan Krishna itu adalah tuhan yang berbeda-beda, ataukah semuanya itu hanya nama-nama yang berbeda untuk satu Dzat yang sama?

Terhadap pertanyaan ini, Hick mengajukan tiga kemungkinan yang sangat penting untuk dibahas:

Ada banyak tuhan di alam semesta. Namun pendapat ini terbantahkan, karena tuhan dari masing-masing agama mengaku sebagai pencipta alam semesta ini.

Satu agama menyembah Tuhan, sedangkan yang lain menyembah sesuatu yang hanya ada dalam imajinasi mereka saja. Menurut Hick, pendapat ini pun keliru, karena dalam agama Kristen sendiri terdapat banyak imej Tuhan, misalnya sebagai Tuhan yang Maha Tegas dan Maha Perkasa, berlawanan dengan imej Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dengan demikian, umat Kristen sendiri menyembah Tuhan melalui imej yang ada dalam benak mereka masing-masing.

Hanya ada satu Tuhan, yang wujud-Nya secara keseluruhan tak dapat dijangkau oleh akal manusia, sedangkan semua agama besar di dunia ini sebenarnya menyembah Tuhan yang sama, namun dengan konsep dan imej yang berbeda-beda terhadap-Nya. Menurut Hick, inilah pendapat yang benar.

Dengan demikian, doktrin extra ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan) pastilah keliru. Begitu juga keputusan Konsili Florence 1438-1445 yang menyatakan bahwa tak seorang pun yang berada di luar Gereja Katolik – baik pagan, Yahudi, orang-orang kafir dan yang memisahkan diri dari Gereja Katolik – yang bisa mendapatkan hidup abadi; semuanya akan masuk ke neraka selamanya. Klaim Protestan masih lebih baik, karena mereka mengatakan bahwa tak ada keselamatan di luar Kristen. Congress on World Mission di Chicago pada tahun 1960 mengatakan bahwa sejak Perang Dunia II, lebih dari satu milyar jiwa melayang dan lebih dari setengahnya masuk neraka tanpa pernah mendengar nama Yesus Kristus, mengenali pribadinya, atau mengapa ia meninggal di tiang salib. Demikianlah cara pandang umat Kristen di masa lalu yang ditentang keras oleh John Hick. Meski demikian, Hick pesimis Gereja akan meralat dogma-dogmanya. Sebab dogma tak bisa diralat, namun bisa diinterpretasikan kembali, demi menyelamatkan muka.

John Hick kemudian mengajukan seperangkat istilah baru, yaitu:

• iman yang eksplisit dan iman yang implisit (explicit and implicit faith),

• pembaptisan dengan keinginan dan pembaptisan literal (baptism by desire and literal baptism),

• Gereja laten dan Gereja yang termanifestasi (latent Church and manifest Church),

• orang-orang yang bertemu Tuhan melalui Yesus Kristus dan orang-orang yang baru akan bertemu dengannya di kehidupan akhirat.

Dengan bangunan pemikiran ini, Hick berpendapat bahwa umat Muslim, Hindu, Sikh atau Yahudi yang taat pada agamanya bisa dianggap sebagai Kristen anonim (anonymous Christian). Hick mengutip Hans Kung yang mengatakan bahwa manusia akan diselamatkan oleh agama yang dimungkinkan baginya dalam situasi historis di masa hidupnya (a man is to be saved within the religion that is made available to him in his historical situation). Kung berpendapat bahwa jalan keselamatan yang ditawarkan oleh Kristen adalah jalan keselamatan yang istimewa (extraordinary way of salvation), sedangkan yang ditawarkan oleh agama-agama lain adalah jalan keselamatan yang biasa (ordinary way of salvation). Namun Hick mengkritik Kung karena ia mengatakan bahwa jalan keselamatan yang biasa adalah sebuah ‘jalan sementara’ sebelum – cepat atau lambat – mereka menerima keimanan Kristen. Ibaratnya seperti Inggris yang memberi amnesti kepada imigran gelap, Tuhan pun akan menerima semua umat beragama jika cepat atau lambat mereka menjadi Kristen sejati dengan pembaptisan yang resmi.

Kita telah melihat bagaimana para teolog Kristen di dunia Barat memformulasikan cara untuk menemukan ruang keselamatan bagi kaum Non-Kristen, namun tetap menggunakan dogma lama. Hanya orang Kristen yang mendapatkan keselamatan; karena itu mereka mengatakan bahwa umat non-Kristen yang taat sebenarnya adalah orang Kristen juga atau akan menjadi Kristen (Christians-to-be), bahkan tanpa mereka menyadarinya.

Pandangan ini, menurut John Hick, bisa berfungsi sebagai jembatan psikologis untuk menyeberang dari sudut pandang lama ke sudut pandang yang baru (yaitu yang menerima adanya keselamatan di luar agama Kristen). Akan tetapi, tegas Hick, cepat atau lambat kita harus keluar dari jembatan itu dan melangkah lebih jauh lagi.



Umat manusia pada jaman dahulu menganut teori Ptolemeus yang mengatakan bahwa Bumi adalah pusat tata surya, sedangkan benda-benda langit lainnya bergerak mengelilinginya. Prinsip yang menyatakan bahwa tak ada keselamatan di luar Kristen, dalam analogi Hick, adalah prinsip teologi yang ptolemaik (theologically ptolemaic). Kristen dianggap sebagai pusat dari ‘alam semesta keyakinan’ (the universe of faiths). Semua agama selain Kristen berputar mengelilinginya dan dinilai berdasarkan jarak darinya.

Sebagaimana teori Ptolemeus dapat dikembangkan tidak hanya dari sudut pandang penduduk Bumi, teologi ptolemaik juga dapat dikembangkan dari sudut pandang lainnya. Misalnya, orang Hindu akan berpendapat umat Kristen adalah umat Hindu yang implisit (implicit Hindus), demikian juga umat lainnya membuat klaim yang serupa terhadap agama-agama lainnya. Cara pandang ptolemaik bisa dipakai oleh semua orang, dan bermanfaat untuk ‘mempersiapkan’ akal kita untuk menerima revolusi Copernicus. Demikianlah menurut John Hick.

Copernicus adalah ilmuwan pertama yang menyatakan bahwa matahari, dan bukan Bumi, yang merupakan pusat dari tata surya. John Hick kemudian menggunakannya sebagai analogi untuk mengajukan teori bahwa seluruh alam semesta keyakinan bergerak mengitari Tuhan, dan bukan agama Kristen atau agama-agama lainnya. Dia adalah mataharinya, sumber asli dari cahaya dan kehidupan, yang semua agama bercermin pada-Nya dengan cara-cara mereka yang berbeda-beda (He is the sun, the originative source of light and life, whom all the religions reflect in their own different ways). Pada titik ini, Hick mengajak kita untuk beralih dari religion-centredness kepada God-centredness.

John Hick berpendapat bahwa masing-masing agama adalah alat untuk menurunkan wahyu kepada berbagai aliran peradaban manusia. Penjelasan ini sejalan dengan yang ditemukan Hick dalam bahasan-bahasan sejarah agama-agama. Pada periode awal peradaban manusia, agama yang dianut adalah agama natural yang melakukan pemujaan terhadap roh, nenek moyang, dewa-dewa alam, dan kadang juga kepercayaan kebangsaan yang haus darah. Pada periode berikutnya muncullah agama-agama yang lebih maju di pusat-pusat peradaban manusia. Pada periode ini lahir agama Yahudi, Zoroaster, Konfusianisme, Budha dan sebagainya. Pada periode setelah itu barulah lahir agama Kristen dan Islam.

Pada periode kedua, sekitar dua ribu lima ratus tahun yang lalu, komunikasi antarbenua dan peradaban di Bumi berlangsung sangat lambat, sehingga manusia praktis hidup dalam kebudayaan-kebudayaan dunia yang berbeda. Maka yang terjadi adalah pewahyuan yang terpisah (separate revelations) kepada umat-umat yang berbeda dalam sejarah manusia. Maka Tuhan pun dikenali dengan cara yang berbeda-beda oleh masing-masing peradaban manusia, sedangkan tradisi-tradisi keagamaan dipengaruhi oleh sejarah, kebudayaan, bahasa, iklim dan keadaan-keadaan lainnya yang mempengaruhi hidup manusia. Dengan demikian, bentuk kultural dan filosofis dari masing-masing agama memiliki karakter yang berbeda-beda, namun Hick meyakinkan semua orang bahwa di segala tempat ada Dzat yang bekerja untuk terus berhubungan dengan manusia.

John Hick menyadari bahwa pemahaman ini akan menimbulkan banyak pertanyaan di tengah-tengah umat Kristen. Bagaimana dengan klaim Yesus Kristus sebagai pihak kedua dari Trinitas Suci yang menjadi manusia, Logos abadi yang memiliki daging manusia? Hick mengatakan bahwa klaim ini pun sekarang sedang diguncang hebat, karena para ahli di Barat mulai mengkritisi Perjanjian Baru dan meragukan klaim bahwa kitab ini seratus persen benar. Bahkan para ahli tidak menemukan klaim dalam Bibel yang menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah satu dengan Tuhan. Pada akhirnya, Hick mempertanyakan: apakah klaim ketuhanan yang menyangkut Yesus adalah sebuah pernyataan yang berdasarkan fakta, ataukah itu hanya ungkapan puitis, simbolik, bahkan mitologis? Hick memilih pendapat yang terakhir.

Hick memperbandingkan Yesus – yang merupakan anak Tuhan yang memiliki ibu Sang Perawan Maria – dengan tokoh mitologi Hercules, yang ayahnya adalah dewa Zeus dan ibunya adalah seorang manusia. Bagaimanapun, teori semacam ini tak pernah didiskusikan serius untuk menggambarkan konsep ketuhanan Yesus. Dalam sejarah Kristen, setiap kali ada yang berusaha menjabarkan konsep ini dengan istilah-istilah yang literal dan faktual, hasilnya adalah vonis kekafiran (heresy). Sebab Gereja tidak mau menerima penafsiran yang menggambarkan Yesus sebagai bukan sepenuhnya manusia atau bukan sepenuhnya Tuhan. Sebaliknya, Gereja sendiri gagal menjabarkan konsep Trinitas dengan cara yang memuaskan akal manusia, karena Yesus adalah sepenuhnya Tuhan dan sepenuhnya manusia, bukan setengah-setengah.

Karena itu, John Hick memandang konsep ketuhanan Yesus sebagai kisah yang murni puitis-mitologis. Yesus, menurutnya, adalah sarana manusia untuk melakukan kontak dengan Tuhan. Karena ia adalah sebenar-benarnya pelayan Tuhan, maka menjadi pengikutnya adalah sama dengan menjadi pengikut Tuhan yang sebenar-benarnya juga. Itulah sebabnya ia disebut sebagai anak Tuhan. Dengan cara ini, menurut Hick, kita bisa memuji keimanan Kristen tanpa harus mencela keimanan agama lain. Kita juga dapat mengatakan bahwa terdapat keselamatan di jalan Kristus tanpa harus mengatakan bahwa tidak ada keselamatan selain dari jalan Kristus.

Pengamatan Hick yang murni historis mengantarkannya pada kesimpulan bahwa agama-agama dunia sebenarnya senantiasa mengalami perubahan, meskipun hampir selalu mengklaim dirinya tak memiliki kesalahan atau ajarannya abadi. Masing-masing agama mengalami masa-masa terjadinya perubahan yang sangat besar, ekspansi besar-besaran, skisma (perpecahan), reformasi dan pencerahan, dan juga periode yang relatif stabil. John Hick mengakui bahwa Islam adalah agama yang paling sedikit berubah dibanding agama-agama lainnya, sedangkan Hindu adalah agama yang paling siap untuk berubah dan menerima pengaruh dari luar. Pada prinsipnya, tegas Hick, tak ada batas dari perkembangan selanjutnya.

Menurut ramalan Hick, pada periode-periode berikutnya akan terjadi interaksi antaragama yang cukup intens. Masa depan Kristen akan dibentuk salah satunya dengan pengaruh Hindu, Budha dan Islam, dan demikian juga sebaliknya. Hubungan antaragama bersifat mutual. Selain menerima pengaruh dari agama lain, juga ada pengaruh dari peradaban sekuler.

Hick kemudian memformulasikan ramalannya tentang bentuk agama manusia di masa depan. Menurut Hick, religiusitas manusia adalah bawaan lahirnya (innate) dan agama akan lestari dalam suatu bentuk selama sifat asal manusia masih sama. Tapi seperti apa bentuk agama di masa depan itu? Di masa kini, persamaan diantara semua agama itu nampaknya lebih dipandang penting daripada perbedaan-perbedaannya. Berdasarkan trend tersebut, Hick berpendapat bahwa di masa depan manusia akan bersepakat dalam komitmen terhadap keimanan yang berlandaskan persaudaraan, sementara perbedaan-perbedaan diantara tradisi-tradisi agama menjadi kurang signifikan artinya.

John Hick membayangkan agama-agama di dunia ini kelak akan seperti sekte-sekte Kristen yang saling bersahabat satu sama lainnya. Manusia bisa mengunjungi peribadatan umat lain tanpa rasa sungkan, bahkan bisa juga berbagi tempat ibadah, bekerja sama dalam segala hal, para pemuka agamanya terbiasa berdiskusi satu sama lainnya dan seterusnya.

Bagaimanapun, Hick melihat bahwa bersatunya agama-agama itu adalah suatu hal yang terlalu muluk. Hanya saja, ia berharap tradisi-tradisi keagamaan dapat memandang satu sama lainnya bukan sebagai rival. Menurut Hick, selama masih ada berbagai macam manusia, akan selalu ada berbagai macam cara peribadatan dan pendekatan teologi. Akan tetapi, sebagaimana yang telah ditegaskan sebelumnya, Tuhan yang disembah oleh umat Kristen adalah sama dengan Tuhan yang disembah oleh umat Islam, Yahudi, Budha, Hindu dan sebagainya. Hick mengakhiri uraiannya dengan kutipan dari kitab Bhagavad Gita, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris kurang lebih sebagai berikut: “Howsoever men may approach me, even so do I accept them; for, on all sides, whatever path they may choose is mine.”

Uraian Hick selanjutnya menunjukkan permasalahan lain yang juga khas Barat, yaitu seputar kemauan untuk memahami orang lain dan bersikap toleran. Menurut Hick, bangsa Barat baru ’membuka matanya’ terhadap peradaban lain pada tahun 1950-an, setelah umat Hindu, Islam dan Sikh melakukan imigrasi besar-besaran, terutama ke Inggris. Pada saat itu, bahkan peradaban Barat yang sudah melepaskan diri dari hegemoni Gereja pun dituntut untuk membuktikan sikap tolerannya. Akan tetapi, pada kenyataannya Barat pun masih berkutat pada pertanyaan-pertanyaan seperti perlunya menyediakan tempat-tempat beribadah untuk mereka, atau perlu-tidaknya memaksa mereka mengikuti pelajaran agama Kristen dan pertanyaan-pertanyaan semacamnya. Jelaslah bahwa sekularisme yang dibangun oleh peradaban Barat adalah semata-mata untuk melepaskan diri dari Gereja, dan ideologi ini tidak serta-merta ekivalen dengan toleransi. Umat Islam, di sisi lain, tidak berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan demikian, karena pembahasan tentang toleransi terhadap umat beragama lainnya telah lama tuntas dijawab.

Hick kemudian mengalihkan pandangannya pada agama-agama di luar Kristen. Sebagai seorang yang menyebut dirinya sebagai pluralis tulen, John Hick tidak sungkan untuk mempelajari agama-agama lain, bahkan menyelidik ke rumah-rumah ibadahnya. Hasil dari surveinya itu menyebutkan bahwa ada berbagai macam perbedaan dalam peribadatan masing-masing agama, namun secara prinsip, esensinya sama saja. Ironisnya, hal-hal yang disebutkan oleh John Hick justru tidak menyentuh esensi agama itu sendiri, misalnya masalah topi dan sepatu, berdiri dan duduk, menyanyi dan alat musik, dan seterusnya.

Ketika menyentuh pembahasan yang lebih pokok dan krusial, misalnya masalah sosok Tuhan, Hick mengambil langkah aman, semata-mata untuk menghindari permasalahan yang lebih pelik saja. Ia menolak keberadaan banyak Tuhan, tapi juga menolak untuk mengatakan bahwa hanya ada satu agama yang menyembah Tuhan, sedangkan yang lainnya tidak. Hick menolak anggapan ini karena dalam agama Kristen sendiri terdapat banyak ’imej Tuhan’, misalnya Tuhan yang Maha Tegas dengan Tuhan yang Maha Penyayang. Pada akhirnya Hick mengambil jalan kompromi dengan mengatakan bahwa masing-masing agama mengenal Tuhan berdasarkan imej-Nya yang bisa mereka lihat sendiri.

Konsep Hick mengenai masing-masing agama yang melihat imej yang berbeda-beda dari Tuhan yang sama juga memiliki permasalahan lain yang tidak kalah peliknya. Konsep ini membuka pintu terhadap sinkretisme dan kelahiran agama baru, karena pandangan seperti ini justru tak ubahnya membolehkan semua orang untuk memilih imej Tuhan yang disembahnya sendiri-sendiri. Maka agama yang satu bisa dilengkapi dengan ajaran agama yang lain, agar imej Tuhan yang disembahnya semakin lengkap dan komprehensif. Itulah sebabnya kalangan pluralis banyak yang berpendapat bahwa jumlah agama itu bisa jadi sebanyak jumlah manusia itu sendiri, karena agama diletakkan sebagai urusan yang murni pribadi, dan tak seorang pun boleh menggugat pemahaman keagamaan orang lain. Dalam perspektif pluralisme, tak ada yang namanya aliran sesat; semuanya adalah agama yang sah.

Hick kemudian melangkah lebih jauh dengan menggunakan revolusi yang terjadi dalam dunia sains dan mencocokkannya dengan perubahan paradigma teologi. Hick hanya mengatakan bahwa revolusi ala Copernicus – ketika menolak teori yang menyebutkan bahwa Bumi adalah pusat tata surya dan mengalihkannya pada teorinya yang mengatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya – perlu diadopsi dalam teologi. Dalam uraiannya, tidak dijelaskan poin-poin pertimbangan yang menyebabkan Hick menggunakan analogi seperti ini. Pada akhirnya, Hick memang bersikeras untuk mengusung God-centredness, yaitu sebuah konsep yang menyatakan bahwa setiap agama menyembah Tuhan yang sama. Analoginya, Tuhan adalah matahari, sedangkan agama-agama adalah planet-planet yang mengitarinya. Planet-planetnya memang berbeda, namun pusat perputarannya sama, yaitu matahari.

John Hick melanjutkan pembahasannya pada pembahasan sejarah agama-agama itu sendiri. Menurutnya, pada awalnya manusia menganut agama natural, kemudian setelah itu lahirlah agama-agama seperti Zoroaster, Yahudi, dan Konfusianisme, baru kemudian menyusul Kristen dan Islam. Hick berpendapat bahwa masing-masing agama berkembang setelah dipengaruhi oleh kultur masyarakat setempat masing-masing. Sayangnya, Hick tidak membahas agama natural yang awalnya dianut manusia. Dengan menilik teori Hick mengenai pengaruh kultural terhadap agama, maka seharusnya agama pertama – yaitu agama natural – itulah yang paling murni dari Tuhan. Namun Hick justru menyebut penyembahan terhadap roh nenek moyang sebagai agama natural juga, sedangkan sikap Hick terhadap penyembahan roh itu tidaklah dijelaskan.

John Hick menutup uraiannya dengan menjelaskan bahwa setiap agama di dunia ini pernah dan akan mengalami perubahan. Dengan terbukanya komunikasi antarbenua dan antaragama, maka masing-masing agama akan saling mempengaruhi, bahkan agama pun akan terpengaruh oleh ideologi-ideologi seperti sekularisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar