Jumat, 16 Juli 2010

KEKAISARAN, POSTKOLONIAL DAN STUDI ALKITAB

Pengujian terhadap teks yang berkonotasi kolonial atau pertanyaan terhadap penafsiran yang bertujuan kolonial tidak semuanya baru. Roy Sano, seorang penulis Asia-Amerika di tahun 1979-an, memberikan pengakuan tentang bagaimana kategori kekaisaran dalam pikiran dan tindakan orang-orang kristen. Mereka berbicara tentang fakta-fakta kejahatan dan sekalipun mereka berbicara tentang institusi atau kejahatan yang tersistematis, mereka telah gagal menggunakan kategory kekaisaran sebagai prinsip organisasi, banyak kehilangan kedudukan kekuasaan di negara mereka. Roy Sano juga berbicara dari perspektif kehidupan suatu komunitas yang tersebar; suatu komunitas dengan status sebagai pendatang di Amerika. Mereka digambarkan dengan wajah-wajah negatif sebagai imigran. Sano merujuk kepada cerita-cerita Alkitab mengembalikan status mereka dari ketidakpastian. Ia lalu menggunakan Rut dan Ester sebagai tokoh yang berhasil memperbaharui indentitas mereka, sekalipun hal itu sangat beresiko bagi kehidupan mereka. Sano juga menemukan dalam tulisan-tulisan apokaliptik tentang peranan para nabi dalam dua hal, yakni kemapanan nation-state dan memiliki akses kepada kekuasaan. Tulisan-tulisan apokaliptik ini di satu sisi sesuai dengan para imigran sebab tulisan-tulisan ini dimunculkan pada sejarah Israel saat mereka kehilangan kedaulatan sebagai suku bangsa. Sano berpikir, hal ini dapat memberikan kesadaran baru bagi orang Asia-Amerika.
Dengan cara yang serupa, Samuel Rayan, seorang teolog berkebangsaan India di tahun 1980-an meninjau implikasi hermeneutik dari politik, budaya, dan imperialisme ekonomi oleh USA, Rusia, Eropa dan Jepang. Ia melihat kembali kepada Yesus dengan orang-orang Roma. Rayan mengakui bahwa Yesus tidak menciptakan konflik dengan penguasa Roma, tetapi kemarahannya secara langsung ditujukan kepada penjajahan orang-orang Israel yang berkolaborasi dengan kekaisaran Roma. Dalam studinya tentang peristiwa tribute-money, Rayan menampilkan bagaimana pada saat puncak kolonialisme modern, penafsiran alkitab ditujukan kepada sikap anti Zelot dan pro Roma, kemudian selama periode dekolonisasi setelah Perang Dunia II, dianjurkan sikap anti imperialisme dan penegasan terhadap kebebasan.

Para teolog belum memberi hubungan antara penjelajahan Eropa dan munculnya disiplin mereka. Lebih penting lagi, menjadi kritik teologi dari kekuasaan, terutama diantara para teolog Inggris. Tepatnya pada tahun 1960an ketika proses penaklukan mengambil alih, teolog barat menghabiskan pikiran mereka pada masalah seperti sekularisasi dan dampaknya pada iman Kristen. Mereka masih tetap tiba untuk menilai peran Barat dalam dominasi kolonial. Kekristenan di Asia dan Afrika dihubungan dengan politik, ekonomi dan kebudayaan jaman dulu yakni penyerangan dari barat. Pendirian ini adalah serangan pada imperialisme yang sudah benar-benar tidak dipahami, dan di situ, tidak bisa begitu saja dihilangkan sebagai sebuah keegoisan yang tersusun. Untuk mencapai sebuah pengetahuan sejati tentang kolonialisme, harus melihat dan menghargai contoh kongkrit dari keuntungan yang dibawa untuk orang-orang pribumi daripada membicarakan imperialisme sebagai suatu dugaan abstrak untuk mempelajari subjek itu. Imperialisme harus dievaluasi secara keagamaan pada istilah tujuan Tuhan dalam sejarah, yang diantara hal-hal lain adalah untuk membawa umat manusia ke pengetahuan sejati dari Dia yang adalah cinta, kekuatan dan keadilan. Imperialisme dibentuk sebagai pembuktian dari Tuhan untuk menciptakan hukum dan pemerintahan dalam mempersatukan semua orang di abawah naungan kekuasaan. Selain menjadi rakyat dari sebuah suku, apa yang diperintahkan dalam pemerintahan kolonial adalah sebuah kesempatan untuk menjadi warga dunia. Studi Musa W. Debe terhadap Injil Yohanes, misalnya, menggambarkan tentang ada suatu desakan umum yang mengikat diantara para teolog untuk membaca teks yang terisolasi dari modernitas dan struktur kontemporer internasional. Meskipun dengan alasan mengikuti yang disebut post-kolonial dengan membaca Yohanes dan Alkitab secara keseluruhan. Pertama. Pengakuan secara umum bahwa Alkitab telah menggunakan berbagai pengaruh budaya melebihi dokumen manapun. Kedua. Pada kenyataannya Negara-negara barat Kristen adalah pusat imprealis yang menjajah dunia termasuk teks-teks budaya dan alat dominasi lainnya. Ketiga. Sejarah gereja modern menunjukan misi Kristen dan institusi dan agen-agen penjajahan telah bekerja sama dengan lancar dalam dunia modern dan kololonialisme kontemporer. Para pembaca telah terpanggil untuk menyelidiki keterhubungan antara idologi biblis dengan struktur kontemporer internasional. Terakhir dan lebih spesifik, misi dari penyelidikan biblis telah mengindikasikan bahwa Injil Yohanes termasuk teks yang paling berpengaruh.
Begitu pula dengan apa yang ditemukan oleh Randall C. Bailey dan Richard A. Horsley, dalam konteks Afrika. Pandangan kolonialisme bahwa budaya Afrika dengan praktek ilmu hitam, ritual pembunuhan dan perang suku tidak akan menyiapkan orang-orang Afrika untuk menghadapi dunia modern. Untuk membenarkan klaim penginjilan ini, disebutkan contoh-contoh dari Alkitab sebagai bukti bahwa Tuhan bekerja dalam dan pada tujuan yang besar, dengan menggunakan kekuatan kekuasaan pada masa lalu. Tetapi konsentrasi kekuatan dalam pandangan ini adalah sebuah alternatif positif yang lebih baik dari pada ketidakbiasaan yang berlaku pada kolonial sebelumnya; perkenalan dari ketertiban orang Roma, kontrol dan konsolidasi (penggabungan) kekuatan adalah alat untuk menegakan keadilan. Pemerintahan dari kekaisaran adalah keagamaan. Jika ada kesalahan dalam pemerintah, itu semata-mata karena imperialisme adalah sebuah kegiatan kemerosotan kemanusiaan.
Postkolonial harus membaca Alkitab dengan mengelompokan teks biblis, interpretasi-interpretasi, para pembaca, institusi-institusi, sebagai mencari jalan membaca kebebasan dari saling ketergantungan. Pembebasan saling ketergantungan meminta kemauan yang berlipat ganda dari bagian para pembaca : pertama. Mengajukan pemahaman biblis sebagai dekolonialisasi tendensi imprealis dan desain-desain naratif yang menekan. Kedua. Mengajukan pemahaman yang disoroti oleh teks biblis dan Yesus.
Postkolonialisme telah memampukan kita yang berasal dari koloni para penjajah di masa lalu untuk memandang diri kita secara berbeda. Ia menolong kita untuk bergerak melampaui pemikiran dalam bentuk pasangan-pasangan yang kontras satu sama lain: “kita” dan “mereka”, “Timur” dan “Barat.” Dualitas semacam ini telah mereduksi setiap orang menjadi sebuah entitas yang tidak terbedakan. Postkolonialisme menolong kita membebaskan diri kita dari batas-batas yang kaku. Setidak-tidaknya ia membuang sindrom korban dari pada kita. Secara positif ia mencegah penafsiran dari menjadi terlalu nativistic (kepribumian) dan nasionalistik. Negatifnya, postkolonialisme tidak membawa kita lebih jauh karena terlalu berputar pada pencarian teori dan keasyikan dengannya. Kita lupa bahwa kegunaan postkolonialisme yang khas ada pada kapasitasnya untuk mendeteksi penindasan, menelanjangi misrepresentasi dan mempromosikan suatu dunia yang lebih adil.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar