Kamis, 22 Juli 2010

Book Review: DILARANG MELARAT (Narasi Teologis Tentang Kemiskinan), Michael Tylor.



Buku ini didasari pada suatu perjalanan spiritual dari penulis, dalam perjumpaannya dengan realitas kemiskinan di Afrika, maupun bencana alam di Bangladesh. Kenyataan dalam perjumpaan ini melahirkan tantangan bagi iman Kristen, tentang bagaimana kekristenan menjawab persoalan kemiskinan dimaksud.
Tylor membahasakan apa yang dijumpai di Afrika sebagai “membiasanya penderitaan” (normality of suffering). Ungkapan ini lahir dalam perjumpaan dengan masyarakat yang memahami bahwa apa yang dialami oleh mereka dalam realitas kemiskinan, bukan merupakan suatu penyimpangan, melainkan telah menjadi suatu kebiasaan. Kamp-kamp pengungsian yang penuh dengan penyakit, kelaparan dan kematian adalah suatu kewajaran, sekalipun orang luar menganggap bahwa apa yang dialami mereka merupakan penderitaan akibat kemiskinan dan bencana alam. Tylor lalu menilai apa yang ia sebutkan sebagai membiasanya penderitaan tak lepas dari pengaruh doktrin Kristen. Ada dua doktrin Kristen yang turut menciptakan situasi ini, yakni teodise dan dosa.

Teodise adalah pemahaman bahwa Allah menggunakan kejahatan, penderitaan dan sebagainya sebagai cara Allah menunjukkan cinta-Nya kepada manusia. Konteks membiasanya penderitaan, lalu dipahami sebagai cara Allah memperkenalkan diri-Nya. Penguatan terhadap konsep teodise ini banyak dilakukan oleh para teolog barat, dengan alasan bahwa dalam konteks kemiskinan kabar baik bagi orang-orang miskin dapat diberitakan. Tylor tidak setuju dengan pemahaman seperti ini, sebab bagi dirinya, teodise justru akan terus memenjarakan manusia dalam realitas kemiskinan. Ia justru lebih setuju dengan teolog-teolog selatan yang memandang bahwa Allah adalah sesuatu yang sangat kontekstual. Allah yang kontekstual memberikan ruang untuk menyatakan karya-karya pembebasan Allah di dunia. Allah juga memampukan manusia untuk mengatasi kondisi dunia yang rusak. Manusia diberikan tanggung jawab untuk mencipta. Artinya, melakukan pembaruan atas alam dan mengatasi kemiskinan.
Doktrin yang kedua adalah dosa. Dalam penilaian Tylor, konteks membiasanya penderitaan selalu dihubungkan dengan dosa. Oleh karena kemiskinan adalah dosa, maka yang harus dilakukan adalah pertobatan. Bagi Tylor, pemahaman ini terpola dari pandangan teolog barat yang memandang Allah sebagai yang sakral. Manusia yang berdosa harus bertobat dihadapan Allah. Paham seperti ini sesungguhnya telah menjauhkan kekristenan dari realitas sosial. Kekristenan hanya berorientasi kepada kesakralan, menjaga kekudusan tetapi mengabaikan tanggung jawab sosialnya.
Ia lalu merumuskan tentang sikap kristiani dalam menghadapi konteks membiasanya penderitaan. Satu hal yang harus dilakukan oleh kekristenan adalah “partisipasi radikal”. Partisipasi radikal berarti keterlibatan secara aktif untuk melakukan tugas-tugas pembebasan bagi masyarakat miskin. Tylor mengungkapkan, partisipasi Kristen melibatkan pula berbagai elemen dalam masyarakat, yakni para ahli dan orang awam, akademisi, pemerintah, politisi dan mereka yang terlibat secara aktif dalam dialog antar iman. Sikap kristiani yang demikian menunjukkan tentang sebuah sikap nyata kekristenan yang peduli dengan realitas kemiskinan. Kekristenan harus memiliki, apa yang disebut Tylor, rule of thumb yaitu melihat, menilai dan bertindak. Sehingga kekristenan tidak hanya terjebak dalam membangun doktrin tentang kemiskinan, tetapi sikap nyata untuk mengatasi kemiskinan.
Tawaran partisipasi radikal yang diberikan oleh Tylor adalah tawaran yang sangat positif. Kekristenan harus berada dalam lingkaran hermeneutik: aksi – refleksi – aksi dan seterusnya. Iman Kristen bukan berada dalam dunia yang transenden, tetapi imanen. Sebagaimana Yesus sendiri adalah Allah yang imanen dan melakukan tugas-tugas pembebasan bagi manusia yang tertindas. Iman Kristen tidak bisa dijauhkan dari kenyataan dunia. Peran sosial gereja harus benar-benar menyentuh masyarakat yang menderita, tidak sekedar membangun doktrin yang membuat gereja jauh dari kenyataan dunia. Oleh karenanya, perlu ada dekonstruksi terhadap budaya kekristenan yang masih berorientasi pada menjaga kesakralan dan kekudusan dalam realitas kemiskinan. Teodise dan dosa, seakan-akan menjadi hukuman bagi mereka yang hidup dalam kemiskinan. Doktrin Kristen seperti ini telah melemahkan peran sosial gereja. Allah lalu dijadikan sebagai kambing hitam atas realitas kemiskinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar