Selasa, 10 Agustus 2010

ES PISANG IJO TANTE IJAH

Memasuki bulan Ramadhan, teringat masa kecil di kota kelahiran, Masohi. Masa-masa yang mengasikan dan penuh makna. Ahmad, Ucheng, Idrus, Muna, Nurbaya adalah teman-teman yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masa kecil di antara Ony, Cello, Nus, John, Pieter, Ona, dll. Bulan Ramadhan, adalah waktu yang selalu dinanti-nantikan. Saat Ramadhan tiba, sekolah-sekolah diliburkan. Di sini, banyak kesempatan untuk bermain, mulai dari mutel sampai gawang mini. Selain itu, di bulan Ramadhan, waktu yang juga kami nantikan adalah saat sahur dan buka puasa. Sahur, sekalipun dini hari, menjadi kebiasaan kami untuk membangunkan mereka yang berpuasa, juga masyarakat. Berbekal kaleng yang diisi dengan batu-batu kerikil, kami berkeliling di sekitar pemukiman sambil meneriakan, “Sahur... sahur”. Aktifitas ini tak pernah dilarang oleh orang tua kami, sebab mereka pun tidak merasa terganggu dengan suara kami. Setelah sahur, kami kembali tidur sambil menanti fajar untuk melanjutkan aktifitas kami sebagai anak-anak, bermain. Seharian kami menikmati permainan kami, dengan tetap menghormati teman-teman kami yang berpuasa. Tidak ada rasa benci, tidak ada yang saling mengejek. Kalau kami makan, itupun dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Inilah waktu yang dinantikan, buka puasa. Keletihan, dahaga, rasa lapar seakan sirna ketika menikmati semangkuk es pisang ijo buatan Tante Ijah (ibunya Nurbaya, Ahmad, Ucheng dan Idrus). Kenikmatan es pisang ijo Tante Ijah melebihi rasa es pisang ijo pemuda. Apalagi ditambah dengan ‘asidah’ buatan tangannya, seakan dunia hanya menjadi milik kami.
Kenyataan yang kita hadapi saat ini, agama-agama hidup dalam prasangka negatif satu dengan yang lain, saling curiga, saling menghina, atas nama Tuhan dan agama cenderung melakukan kekerasan, saling mengklaim bahwa dirinya yang paling benar dan yang lain tidak, dan sebagainya. Parade agama-agama saat ini, seakan menunjukkan wajah agama yang kesetanan, jauh dari perdamaian. Peradaban manusia saat ini, sangat membutuhkan kembali hadirnya agama dengan paradigma moral. Agama yang sanggup menggairahkan inisiatif umat dalam pemberdayaan demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang beradab dan sejahtera; suatu masyarakat yang berpondasikan penghormatan akan HAM maupun demokrasi. Agama dengan paradigma moral yaitu agama yang memiliki visi memanusiakan manusia seutuhnya. Dalam hubungan dengan itulah peradaban manusia dewasa ini mendambakan agama yang berkemampuan memberdayakan keutuhan manusia. Agama secara fungsional mampu menjembatani jurang ritual dengan moral-spiritual warganya. Agama yang secara aktif menjadi lokomotif dalam menentukan arah peradaban manusia, pengembangan disiplin ilmu untuk percepatan diakhirinya krisis kemanusiaan. Agama harus menjadi berkat bagi masyarakatnya. Cita-cita itu akan terwujud jika saja agama secara internal merekonstruksi primordialitasnya yang berpotensi memicu lahirnya konflik horosontal dalam kehidupan masyarakat. Agama yang secara terus menerus dan ikhlas belajar dari sejarah peradaban manusia yang penuh dengan lumuran darah. Cerdas dan arif dengan kenyataan besarnya saham agama dalam memicu dan melestarikan pertikaian.
Sepertinya, sikap beragama kita saat ini harus mencontohi perilaku anak-anak. Jujur, tanpa curiga, mau menerima dan bersahabat dengan orang lain, bersahaja, bertumbuh bersama dalam perbedaan, saling membantu untuk mencapai tujuan bersama, bebas dari kepentingan pribadi, dan sebagainya. Kalaupun ada konflik, tidak pernah berlarut-larut dan menjadi dendam, karena saat itu juga saling ‘baku bae’ satu dengan yang lain. Saat ini, Ramadhan tiba lagi. Penantiannya tidak lagi seperti masih kanak-kanak. Yang dinanti saat ini adalah siraman-siraman rohani yang menyejukkan kalbu, untuk hidup yang lebih baik dan bermartabat. Kerinduan akan siraman rohani itu bagaikan dahaga yang tertahan selama seharian, tetapi kemudian terpuaskan ketika menikmati semangkok es pisang ijo Tante Ijah. Marhaban Ya Ramadhan, sambut bulan penuh hikmah dengan hati dan jiwa yang bersih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar