Jumat, 06 Agustus 2010

POSTMODERNISME: Kritik Terhadap Modernisme

Istilah postmodernisme pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Jerman, Rudolf Pannwitz, pada tahun 1917, untuk menggambarkan nihilisme budaya barat abad ke-20. Istilah ini pertama kali muncul pada bidang seni dan kemudian juga arsitektur, ketika perumahan Pruitt-Igoe di St. Louis dihancurkan dengan dinamit dan dimulailah pengembangan karya-karya arsitektur yang berwajah baru. Postmodernisme lahir sebagai kritik atas modernisme, yang sangat berpegang kepada fundamentalisme dogmatis atau fudamentalisme epitemilogis. Keyakinan fundamental/fondasional menjadi syarat utama untuk membenarkan pengetahuan yang dibangun di atasnya. Keyakinan-keyakinan tidak bersifat sirkuler, namun harus sampai pada satu titik aksiomatis, yang tidak membutuhkan pembenaran apapun. Jelas rasiolah yang mampu mengerjakannya dengan teliti, rasio adalah pusat. Kebenaran (truth) adalah persesuaian antara sesuatu dengan fondasinya dan sekaligus persesuaian antara akal dan kenyataan yang dicermati, antara subjek yang mengamati dan objek yang teramati. Fondasionalisme/fundamentalisme menyimpan sebuah kepastian bahwa dasar mutlak tersebut tidak terikat pada ruang dan waktu hidup manusia. Ia harus a-historis agar tetap mampu menjadi fondasi ilmu dan segi-segi hidup lainnya. Kebenaran adalah absolut dan mengabaikan dialog yang jujur dengan wacana historis dan sosial.
Kritik postmodernisme terhadap fundamentalisme/fondasionalisme mengemukakan bahwa kriteria kebenaran adalah koherensi atau hubungan pertalian dan pengesahan pernyataan seseorang oleh komunitas. Kebenaran amat terkait dan terikat pada kenyataan sosial. Tidak pernah ada kebenaran yang fondasional, metafisis dan independen, yang lepas dari kenyataan sosial. Usaha untuk mencapai kepastian transenden, bagi kaum fondasional, justru membuat manusia berusaha menjadi Allah dan lari dari batas-batas kemanusiaanya sendiri. Kritik postmodernisme, harapan manusia untuk menjadi apa saja harus diputuskan, selain menjadi manusia saja. Komunitas menjadi sangat penting artinya. Jati diri manusia mendapat tempat yang otentik dalam hidup bersama. Komunitas menolak kesatuan, penyeragaman, dan kesamaan mutlak. Yang ada adalah ke-lain-an (otherness) dan kepelbagaian (diversity).
Semangat postmodern merambah pula sampai pada bidang ilmu teologi. Istilah postmodernisme di bidang teologi pertama kali digunakan di Inggris pada tahun 1933 oleh Bernard Iddings Bell, seorang teolog yang berusaha mengetengahkan kegagalan modernisme sekuler dan kembalinya agama dalam kehidupan manusia. Teologi postmodernisme mengacu pada dua isu, yaitu: pertama, komunalitas hidup. Teologi postmodernisme membebaskan manusia yang terasing dari manusia yang berkuasa dan kemudian menempatkan mereka secara bersama-sama dalam kesejajaran. Komunitas-komunitas basis yang selama ini terasing, diperkuat kembali. Manusia hidup dalam konteksnya sehingga fungsi akal budi harus dibarengi dengan aksi atau praksis terhadap kenyataan sosial yang dihadapi. Persoalan komunalitas berimbas kepada oikumene. Jika oikumene dipahami sebagai seluruh bumi yang didiami, maka terdapat dua arah teologis yang perlu dikembangkan, yaitu teologi oikumene yang berwawasan ekologis, yang menempatkan manusia dalam konteks lingkungan semesta, dan perlu dikembangkan sebuah teologi oikumene yang melihat kehadiran sesama yang beriman lain dalam konteks dunia yang satu ini.
Isu kedua dari teologi postmodernisme adalah makna dan kebenaran. Ide pluralitas bukan hanya dalam diskursus mengenai wacana suci namun juga tentang Allah sendiri, sungguh memberi kemungkinan teologis yang besar bagi sebuah theologia religionum yang sehat. Seringkali penganut eksklusivis menuduh kaum pluralis mengabaikan keunikan dalam agama-agama. Bagi kaum pluralis, keunikan agama-agama adalah sebuah keunikan relasional. Artinya, mengakui kebenaran yang diyakini bersifat relatif di tengah arena agama-agama lain, tidak serta-merta mengabaikan keunikan kebenaran agama, namun sebaliknya, mengakui keunikan kebenaran itu dalam relasi dengan agama lain. Sehingga interpertasi-interpertasi bukan didasarkan kepada sesuatu yang sifatnya universal, namun interpertasi sangat terikat dengan kondisi kultural, kontekstual dan historis di mana manusia berada. Oleh karena itu, manusia perlu disadarkan sehubungan dengan proses interpertasi kebenaran, bahwa [1] munculnya beragam interpertasi; [2] pentingnya menghargai interpertasi pihak lain; [3] menyadari keterbatasan interpertasinya sendiri. Disinilah terjadi pemindahan pemikiran, dari sesuatu yang sifatnya metafisika kepada interpertasi yang membebaskan.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar