Selasa, 11 November 2008

REALITAS BERAGAMA DI INDONESIA

Oleh: Agus Lopuhaa

1. Pluralisme Sebagai Tantangan Bersama
Bhineka Tunggal Ika: beraneka ragam, tetapi satu jua. Semboyan nasional ini dengan tepatnya menjelaskan realitas yang paling dalam dari Indonesia. Ia mencerminkan tekad untuk bersatu dari masyarakat yang mungkin merupakan masyarakat paling heterogen di dunia. Dan tekad untuk bersatu itu mencerminkan adanya ciri kebudayaan yang sama, di balik kemajemukan yang mencolok. Kebhinekaan atau kemajemukan Indonesia sepintas lalu memang jauh lebih menonjol dari kesatuannya. Oleh karena itu, bahaya disintegrasi selalu merupakan ancaman, baik riil maupun potensial. Kondisi objektif Indonesia telah membuat kesatuan dan integrasi sosial maupun nasional merupakan sesuatu yang sulit. Suatu kesan yang paling menonjol tentang negeri ini adalah kemajemukannya baik secara geografis maupun etnis. Tercatat ada sekitar 17.667 pulau besar dan kecil; serta 300 kelompok etnis dan 50 bahasa yang berbeda. Belum lagi termasuk keturunan Cina, Arab, India yang telah hidup lama. Di samping itu, dari sisi keagamaan, hidup agama-agama besar dan agama suku; juga dari sisi ekonomi, sistem sosial dan politik. Tentu saja hal ini sebenarnya berlaku juga bagi banyak negara di dunia ini. Namun, apa yang relatif khas pada Indonesia adalah komposisi dari kemajemukan primordialnya, pluralitas strukturalnya, serta kurangnya mekanisme penengah pada mana disintegrasi yang amat potensial itu berakar dan bermuara.
Pluralitas keagamaan adalah sebuah realitas dalam kehidupan masyarakat Indonesia dengan berbagai dimensinya. Secara garis besar, pluralisme keagamaan dapat dilihat dari kehadirannya berbagai agama yang menjadi anutan bangsa Indonesia; dan juga dalam masing-masing intern umat beragama sendiri terdapat berbagai aliran pemahaman dan pelembagaan keagamaan. Kedua fenomena ini dengan sendirinya menimbulkan problematikanya masing-masing yang cukup kompleks. Dasar dari pluralisme agama adalah sebagai akibat dari cara merespons penyataan Tuhan. Bahwa sesungguhnya agama berawal dari kesadaran manusia tentang relasinya dengan suatu kuasa yang transendental yang dialaminya secara nyata, baik itu melalui gejala alam, atau melalui daya pikir. Dengan demikian, Tuhan menyatakan diri melalui berbagai jalan, yang merupakan respons manusia terhadap diriNya. Respons itu terjadi dalam hubungan dengan konteks sosial di mana pemahaman itu berkembang. Pemahaman yang berkembang dalam realitas budaya yang berbeda itulah yang melahirkan agama, yang di dalamnya telah menciptakan pluralisme.
Di Indonesia hidup dan berkembang agama-agama besar dunia. Agama Islam berkembang dengan merata di seantero Nusantara sebagai anutan mayoritas rakyat Indonesia. Agama Kristen, baik Katolik maupun Protestan, datang secara lebih terorganisasi yang sekaligus memperkenalkan sistem organisasi modern kepada masyarakat Indonesia. Agama Hindu yang pertama kali datang memperkenalkan kehidupan berpemerintahan melalui sistem kerajaan yang melampaui batas-batas lokal. Agama Budha meninggalkan berbagai warisan monumental antara lain candi Borobudur dan lainnya. Kedatangan orang-orang Cina juga membawa agama Kong Hu Cu, yang dianut oleh masyarakat Tionghoa maupun penduduk lokal. Tidak sebatas agama-agama besar yang berasal dari luar saja, masih ada juga agama-agama asli/suku yang berkembang seiring dengan perkembangan agama-agama besar, walaupun tidak sehebat perkembangan agama-agama besar.
Semua hal yang telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa betapa pluralisme merupakan tantangan bersama. Oleh karena pluralisme merupakan sebuah fakta, dengan demikian tantangan yang dihadapi oleh masyarakat harus dihadapi secara bersama pula. Dan untuk menghadapi tantangan bersama itu, maka yang dibutuhkan adalah prinsip untuk saling menghargai, bahkan prinsip untuk selalu membangun hubungan (dialog) dengan orang lain. Dengan demikian, jika pluralisme adalah adanya hubungan saling bergantung antar berbagai hal yang berbeda, maka dalam pluralisme mengharuskan adanya dialog antar berbagai komponen masyarakat, entah itu agama, budaya dan sebagainya. Di dalamnya, keutuhan dan kebersamaan dijadikan sebagai acuan dalam membangun sebuah hubungan yang saling bergantung itu. Ketergantungan itu adalah prinsip hidup saling menghargai, tanpa harus melihat latar belakang apapun; saling menghargai perbedaan dan bukannya saling menyerang.

2. Realitas Beragama dalam Masyarakat Majemuk
Salah satu masalah yang muncul dalam bangsa-bangsa yang tidak homogen secara agama, seperti Indonesia, adalah hubungan antara agama dan politik. Masyarakat menciptakan sistem politiknya, telah melibatkan agama-agama ke dalamnya, demikian sebaliknya politik telah diteologisasi. Di masa lampau, juga saat ini, ketika pembangunan bidang ekonomi Indonesia merupakan target kedua atau ketiga dan interese politik serta pertentangan ideologis lebih banyak memberikan warna pada kegiatan pembangunan, maka kedudukan agama pun sentral dalam pertentangan ideologis-politis tersebut. Di saat itu, agama-agama berhadapan sebagai lawan politik yang tak bisa dihindari. Ia bahkan dimanipulasi sebagai dasar legitimasi dari pertentangan-pertentangan politik tersebut dengan perbedaan aspirasinya yang hampir absolut karena didukung oleh suatu semangat keagamaan yang absolut sifatnya.
Kenyataan ini telah menyadarkan setiap orang akan intensitas inter-penetrasi antara agama dan politik. Inter-penetrasi itu terjadi antara lain oleh karena kesadaran akan pentingnya kedua bidang hidup tersebut, dilihat dari segi politik, agama dianggap penting dan tidak bisa diabaikan, sebaliknya dari segi agama, politik dianggap semakin menentukan keberadaannya. Di satu pihak terjadi proses teologisasi politik, di mana politik dipikirkan dalam perspektif tanggung jawab etis-teologis; dengan peran korektif serta peran profetis agama-agama sebagai pendamping yang kritis terhadap dunia politik. Di pihak lain juga terjadi proses politisasi agama, di mana agama-agama hendak ditempatkan dalam kerangka tujuan serta aspirasi politik tertentu. Secara praktis maka dapat disaksikan bahwa kaitan antara pemerintah dan agama semakin erat. Erat dalam arti positif, tetapi juga negatif. Positif dalam arti bahwa keadaan itu menyebabkan terjadinya suatu interaksi dinamis dan bebas antara politik dan agama, sehingga keduanya bisa bertumbuh dewasa. Sedangkan negatif dalam arti apabila keduanya saling berhadapan selaku kekuatan ideologis yang absolut dan memaksa; dalam hubungan ini kehidupan politik bisa menjadi otoriter dan kehidupan agama tidak mampu melakukan perannya selaku sendi-sendi utama kekuatan moral masyarakat.
Bila terjadi hal demikian, agama-agama akan semakin kehilangan alasannya untuk tampil sebagai kekuatan korektif dalam masyarakat. Bukan hanya otonomi dan independensinya yang kian menipis, akan tetapi bersamaan dengan itu sumbangannya dalam kehidupan moral tidak akan bisa banyak diharapkan. Pada gilirannya apabila agama-agama semakin kehilangan dayanya sebagai kekuatan moral, maka dalam masyarakat akan hidup nilai-nilai yang dangkal dan lemah. Dengan itu masyarakat akan lekas lelah secara moral dan menyukai kekerasan. Apa yang diharapkan dari agama-agama adalah sebuah proses pemikiran ulang dengan memberikan perhatian kepada soal-soal kemanusiaan bersama, sekalipun tetap dengan menggali kaidah etik dan moral dari agama. Pendekatan terhadap berbagai realitas masyarakat yang majemuk harus lebih terbuka, yaitu memandang diri sendiri selaku faktor komplementer dari kebulatan persoalan kemanusiaan yang lebih besar dan komprehensif. Tidak lagi membangkitkan semangat primodial yang menimbulkan sifat-sifat tertutup terhadap unsur-unsur luar yang dianggap asing dan mengancam. Yang dibutuhkan adalah memikirkan hubungan antar agama dalam suatu semangat untuk memikirkan makna pluralisme secara lebih serius dalam tradisi keagamaan masing-masing. Juga upaya membangun kembatan-jembatan spiritual-intelektual untuk memikirkan kembali relasi-relasi antara agama yang lebih sesuai dengan konteks persoalan kemanusiaan yang lebih mendesak dan menentukan pada masa sekarang ini.
Bagi masyarakat majemuk seperti Indonesia, upaya untuk merumuskan kesepakatan demi kesepakatan nilai tidak semudah membalik telapak tangan. Setiap masyarakat selalu mempunyai kecenderungan besar untuk mempertahankan keunikannya, entah itu agama, budaya dan sebagainya. Sebabnya karena eksistensi suatu masyarakat itu amat ditentukan oleh kemampuannya mempertahankan integritas/keutuhannya. Upaya untuk mempertahankan integritasnya itu dilakukan secara alamiah, ketika ia menghadapi tantangan atau desakan peradaban dari luar. Namun jika upaya menghindari ini terus dilakukan, maka upaya ini akan membawa Indonesia secara pelan namun pasti ke arah disintegrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar