Rabu, 10 Desember 2008

Apakah Agama Itu?

Dalam tulisan saya tentang "Tangkap Tikusnya", bung Steve Gaspersz memberikan komentar yang mencoba “merangsang” saya untuk berpikir tentang apakah agama itu.
Banyak pendapat yang bermunculan tentang mengapa agama selalu hadir dalam kehidupan manusia. Salah satunya, hal itu disebabkan oleh karena manusia menyadari akan keterbatasannya, dan berpaling kepada sesuatu yang dianggap tak terbatas. Dengan demikian, agama dianggap tidak lebih dari suatu pelarian, bahkan dianggap sebagai ciptaan manusia. Ketika ilmu dan teknologi mengalami kemajuan untuk menjawab berbagai keterbatasan manusia, maka peran agama digantikan dengan ilmu dan teknologi, dan agama mengalami kemerosotan. Namun walaupun agama mengalami kemerosotan, fenomena agama tak pernah hilang sama sekali, bahkan kini era kebangkitan agama sementara dijalani manusia. Hal ini karena ilmu dan teknologi tak pernah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan terdalam dari manusia misalnya mengenai tujuan hidup.
Kebanyakan orang telah memiliki ide tentang apa itu agama. Mereka mungkin akan berpikir tentang kepercayaan kepada Tuhan, roh-roh supranatural, ataupun kehidupan setelah mati. Atau mungkin mereka akan menyebut satu dari agama-agama besar dunia, seperti Hindu, Budha, Kristen, Islam. Satu konsep yang biasanya dipandang menjadi karakteristik dari segala sesuatu yang religius adalah konsep supranatural. Yang Supranatural adalah tatanan hal-ihwal yang berada di luar kemampuan pemahaman manusia ; yang supranatural adalah dunia misteri, yang tidak bisa diketahui atau yang tidak bisa ditangkap akal dan dicerap indera. Maka agama menjadi semacam spekulasi terhadap segala sesuatu yang ada di luar ilmu pengetahuan dan akal sehat pada umumnya. Agama yang ajaran-ajarannya kadang saling berlawanan, diam-diam sepakat bahwa dunia dengan segala isi dan segala yang melingkupinya adalah sebuah misteri yang membutuhkan penjelasan. Agama pada dasarnya berisi keyakinan akan adanya sesuatu yang mahakekal yang berada di luar pengetahuan manusia. Dengan kata lain, agama sebagai usaha untuk memahami apa-apa yang tak dapat dipahami dan untuk mengungkapkan apa yang tak dapat diungkapkan; sebuah keinginan kepada sesuatu yang tidak terbatas.
Secara umum agama merupakan sesuatu yang benar-benar bersifat sosial. Representasi-representasi religius adalah representasi-representasi kolektif yang mengungkapkan realitas-realitas kolektif. Ritus-ritus merupakan bentuk tindakan yang hanya lahir di tengah kelompok-kelompok manusia dan tujuannya adalah untuk melahirkan, mempertahankan atau menciptakan kembali keadaan-keadaan mental tertentu dari kelompok-kelompok itu. Wadah di mana representasi terbentuk inilah yang melahirkan perbedaan. Representasi kolektif adalah hasil dari kerjasama begitu rumit yang tidak hanya meluas di dalam ruang tapi juga di sepanjang waktu.
Sigmund Freud dan Karl Marx menganggap agama bukan hanya salah, tetapi menurut standar moralitas dan kenormalan agama adalah sesuatu yang jahat. Dengan kata lain bagi Freud-Marx agama tidak lebih sebagai candu bagi masyarakat. Ia adalah sesuatu yang tidak sehat dan disfungsional, sejenis penyakit yang harus dicoba disembuhkan oleh orang. E. B. Tylor menguraikan agama dengan merujuk pada kepercayaan pada makhluk-makhluk spiritual. Emile Durkheim mendefenisikan agama sebagai hal yang berkenaan dengan yang sakral, dan kemudian lebih lanjut mengidentifikasi yang sakral dengan yang sosial. Baginya, masyarakat dipuja sebagai Tuhan.
Dari berbagai teori di atas, agama dapat diartikan sebagai pencarian manusia (bahasa bung Steve, bentukan intepretatif) terhadap kekuatan tertinggi (supranatural) serta hubungan denganNya. Hubungan itu ada dalam bentuk ritus-ritus atau upacara-upacara. Dalam pemahaman seperti ini, ada dua hal yang terkandung di dalam agama yaitu Kepercayaan dan Ritus/upacara. Kepercayaan merupakan pendapat-pendapat (states of opinion) dan terdiri dari representasi-representasi. Sedangkan ritus merupakan bentuk-bentuk tindakan (action) yang khusus. Di antara dua hal tersebut, terdapat jurang yang memisahkan cara berpikir (thinking) dan cara berperilaku (doing). Ritus dapat dibedakan dari tindakan-tindakan (practice) manusia lainnya – misalnya tindakan moral (moral practice) – berdasarkan kekhasan hakikat apa yang jadi objeknya. Objek ritus harus ditentukan karakteristiknya terlebih dahulu, agar karakter ritus itu bisa ditentukan. Dan kekhasan objek ritus terungkap dalam kepercayaan. Oleh sebab itu, hanya setelah mendefenisikan kepercayaan kita barulah bisa mendefenisikan ritus.
Terhadap pertanyaan Bung Steve, apakah sejauh ini agama masih independen dan otonom? Seharusnya demikian. Independen artinya harus bebas dari kepentingan-kepentingan kelompok tertentu (di luar agama) yang ingin memanfaatkan agama untuk mencapai tujuannya. Seperti inter-penetrasi agama dan politik (dalam tulisan Realitas Beragama Di Indonesia). Fungsinya harus sebagai kekuatan korektif yang menyuarakan nilai-nilai moral dalam masyarakat. Otonom artinya urusan suatu agama (menyangkut dogmanya) menjadi urusan agama itu sendiri. Ia tidak bisa “diintervensi” oleh agama lain termasuk pemerintah. tetapi bukan berarti para penganutnya lalu bersikap fanatik dan primordial. Apabila agama-agama semakin kehilangan dayanya sebagai kekuatan moral, maka dalam masyarakat akan hidup nilai-nilai yang dangkal dan lemah. Dengan itu masyarakat akan lekas lelah secara moral dan menyukai kekerasan. Apa yang diharapkan dari agama-agama adalah sebuah proses pemikiran ulang dengan memberikan perhatian kepada soal-soal kemanusiaan bersama, sekalipun tetap dengan menggali kaidah etik dan moral dari agama. Pendekatan terhadap berbagai realitas masyarakat yang majemuk harus lebih terbuka, yaitu memandang diri sendiri selaku faktor komplementer dari kebulatan persoalan kemanusiaan yang lebih besar dan komprehensif. Tidak lagi membangkitkan semangat primodial yang menimbulkan sifat-sifat tertutup terhadap unsur-unsur luar yang dianggap asing dan mengancam. Yang dibutuhkan adalah memikirkan hubungan antar agama dalam suatu semangat untuk memikirkan makna pluralisme secara lebih serius dalam tradisi keagamaan masing-masing. Juga upaya membangun kembatan-jembatan spiritual-intelektual untuk memikirkan kembali relasi-relasi antara agama yang lebih sesuai dengan konteks persoalan kemanusiaan yang lebih mendesak dan menentukan pada masa sekarang ini.

1 komentar:

  1. Agama juga dapat dilihat dalam ranah Privat n Publik sebagai bentuk refleksi dan ekspresi. Jadi kalau salah satu penganut agama berekspresi buruk terhadap ajaran agama lain, dapat dipahami bahwa itu adalah refleksi keagamaannya juga.
    Ranah Privat, agama itu adalah refleksi dan ekspresi tentang Pengetahuan Mengenai adanya Tuhan, ORang Suci/Nabi, Ajaran-Ajaran/Aturan-Aturan, dll yang menjadi inti agama itu sendiri. Ketika ranah privat ini dikorak-korek oleh orang lain, maka dengan sendirinya akan ada ekspresi-ekspresi dari pribadi-pribadi yang meyakininya. Agama pada ranah publik merupakan fenomena/gejala empirik seperti Organisasinya, kitab sucinya, simbol-simbolnya, tempat ibadahnya, ritual-ritualnya, dll, yang berfungsi mengorganisir ranah privat tadi menjadi kesatuan yang fungsional. Ranah Publik mendapatkan bensinnya dari Ranah Privat, sementara Ranah Privat mendapatkan kendaraannya dari Ranah Publik.
    Masyarakat kita ada dalam pengetahuan keagamaan yang bukan akademik. Agama adalah pengetahuan setiap hari yang sakral. Pendekatan-pendekatan yang akademis mesti disederhanakan sampai menemukan Hakekat Agama itu sendiri.
    Di satu sisi, pendidikan perdamaian tidak akan pernah selesai beriringan dengan pendidikan agama itu sendiri. Orang menganggap bahwa ketika suatu konflik telah selesai, maka pendidikan perdamaian tidak perlu lagi dilaksanakan. Pandangan itu amat keliru karena perdamaian yang ada di Maluku - Masohi itu bukanlah damai dari Hati. Itu damai yang terpaksa... Kalau saja ada yang bisa membantah ini. Pemerintah bukan mediator yang baik karena kepentingannnya adalah stabilitas keamanan dan bukan damai yang hakikih itu sendiri. Lembaga-lembaga keagamaan dan adat dapat memainkan peranan penting juga.

    BalasHapus