Selasa, 09 Desember 2008

Tangkap Tikusnya

I
Masohi rusuh lagi. Menjadi headline di media-media lokal dan beberapa media nasional, ketika hendak membuat tulisan ini. Dari informasi yang di dapat, puluhan rumah terbakar, fasilitas umum berupa puskesmas dan balai desa juga ikut terbakar, serta bangunan gereja (darurat) di Letwaru dibakar oleh orang-orang Lesane (kebetulan kedua desa ini berdekatan). Apa yang menjadi akar masalah sehingga ada tindakan anarkhis demikian? Rupanya ada seorang guru SD Negeri 4 Masohi (Welhelmina Holle) mengeluarkan perkataan kepada para siswanya yang menyinggung perasaan umat Muslim di Masohi, karena pernyataan tersebut dianggap melecehkan Nabi Muhammad SAW. Akhirnya, warga Masohi, termasuk warga Lesane, yang beragama Muslim melakukan demonstrasi di Polres Maluku Tengah menuntut pemulihan nama baik dan sang guru tersebut harus mempertanggungjawabkan perkataannya. Setelah aksi demonstrasi tersebut, warga kemudian kembali melakukan tindakan anarkhis di terminal Binaya Masohi dan berlanjut dengan penyerangan terhadap pemukiman Letwaru. Korban pun berjatuhan, ada yang terluka dalam peristiwa tersebut. Pertanyaannya, apakah sang guru dalam pernyataannya mengatasnamakan umat Kristen? Apakah Letwaru sebagai suatu pemukiman yang “kebetulan” banyak didomisili oleh umat Kristen juga harus menanggung akibat dari “pelecehan” tersebut? Analoginya, jika tikus ada di dapur, apakah dapurnya harus dibakar ataukah tikusnya yang ditangkap? Walahualam……..
Saya lalu berpikir, apa sebetulnya yang terjadi dengan kondisi beragama kita akhir-akhir ini. Mengapa lalu orang begitu cepat mengambil tindakan anarkhis ketika ajaran agamanya “disentuh”? Mengapa segala sesuatu menyangkut agama sangat sensitif sifatnya?
Apakah demikian menunjukkan bahwa penganut agama masih beragama dalam kerangka mitos? Bisa saja dikatakan demikian. Mitos kisah atau deskripsi yang benar bukanlah benar secara harafiah, tetapi bagaimanapun juga mengekspresikan dan cenderung menimbulkan sikap yang benar terhadap objek mitos tersebut. Contohnya dengan melihat mitos religius yang sangat terkenal, kisah penciptaan dalam tujuh hari dan kejatuhan Adam dan Hawa, serta pengusiran keduanya dari taman Eden. Hal itu bukanlah kebenaran literal tetapi mungkin kebenaran mitologis, sebagai cara untuk mengatakan bahwa dunia adalah ciptaan ilahi dan manusia adalah manusia yang tak sempurna yang hidup dalam dunia yang tak sempurna juga. Dalam kasus seperti ini, apa yang dikatakan oleh mitos dapat juga disebut dalam istilah literal, tetapi tidak begitu hidup.
Dalam masing-masing kasus, nilai mitos adalah berbicara dalam cara yang kongkret dan dapat divisualisasikan sehingga menarik bagi imajinasi dan karenanya dapat meresap ke dalam pikiran, biasanya mempengaruhi sikap seorang dengan lebih kuat ketimbang pernyataan-pernyataan abstrak. Karena itu, signifikasi mitos terletak di dalam kekuatan pengungkapannya ketimbang dalam kebenaran mutlaknya yang tidak dapat diekspresikan. Namun dalam hal tertentu, mitos memang menyampaikan sesuatu yang tidak dapat disampaikan, karena mitos ini memperluas metafora. Metafora dapat diartikan sebagai sesuatu yang ‘digenerasikan’ oleh hubungan dua bagian dari berbagai ide. Metafora melibatkan sebuah pelintasan makna: suatu istilah diterangkan dengan menambahkan kepadanya sebuah asosiasi istilah lainnya. Keterbukaan jaringan asosiasi ini mencegah metafora ditafsirkan secara literal, karena itu tidak bisa dibatasi pada asosiasi-asosiasi tertentu saja. Saat metafora semakin berkembang, maka batas-batas semantik mitos semakin berkurang sehingga tidak dapat digantikan oleh pernyataan yang sepenuhnya literal. Tetapi ini hanya dalam kasus di mana mitos benar-benar bersifat mistis. Sehingga sangat keliru jika mitos dapat diekspresikan dengan cara lain. Kemisteriusannya terkandung di dalam jangkauan asosiasinya yang tidak terbatas, yang tidak bisa ditekan menjadi translasi literal tunggal.
Pada hakikatnya mitos bukan hal yang jelek, karena dengannnya kehidupan manusia mempunyai konteks makna yang berharga. Akan tetapi mitos menjadi potensi destruktif bila didudukkan sebagai kekuatan dan kemapanan hirarki sosial. Penyelewengan mitos sebagai kekuatan status quo ini akan membentuk rancangan ideologi kemapanan yang tangguh. Inilah yang oleh Arkoun disebut sebagai proses pemistikan, yakni penggunaan mitos yang bertentangan dengan fungsi dan maknanya. Inilah corak utama gaya berteologi (theologizing) masyarakat agama saat ini; bangkitnya neo-otodoksi bercanggah di atas kerangka paradigma di atas. Mitos dijadikan sebagai penyangga ideologi. Dan tidak mustahil bahwa tragedi-tragedi kemanusiaan akan terus berlangsung. Oleh karenanya adalah tugas berat bagi umat beragama untuk mencari paradigma baru yang compatible dalam memaknai kondisi agama saat ini.

II
Dalam tulisan saya yang berjudul Tuhan: Sebuah Realitas Budaya, saya mengatakan demikian:
Agama berawal dari kesadaran manusia tentang relasinya dengan suatu kuasa supranatural yang dialaminya secara nyata, baik itu melalui gejala alam atau melalui daya pikir. Dalam tradisi agama-agama, baik itu agama besar maupun agama suku, kesadaran akan kehadiran Realitas Tertinggi sangat jelas terasa. Kesadaran ini muncul karena ada sebuah kekuatan supranatural yang berada di luar kekuatan manusia. Kekuatan yang diresponi itu kemudian dipersonifikasikan dalam nama yang berbeda-beda. Respons itu juga tidak terlepas dari budaya dan tradisi yang berkembang dalam situasi masyarakat di mana agama ini mulai berkembang. Deskripsi tentang Realitas Tertinggi terkandung dalam teologi dan filsafat dari perbedaan tradisi-tradisi yang membicarakan secara harafiah tentang Tuhan mereka. Dengan demikian, Realitas Tertinggi itu menyatakan diri melalui berbagai jalan. Hal ini berarti semua agama mempunyai inti yakni suatu pengalaman akan Realitas Tertinggi; bahwa dengan jalan yang banyak, semuanya merupakan sarana-sarana yang dipakai oleh Tuhan untuk membuat diriNya hadir bagi manusia. Tuhan mempunyai “hakikat-hakikat” yang berbeda-beda, yang dinyatakan oleh tradisi-tradisi keagamaan yang berbeda-beda. Dari pemahaman di atas, Tuhan dapat diartikan sebagai nama yang diberikan kepada kuasa yang supranatural tersebut.
Jika demikian, agama adalah sesuatu yang independen dan otonom. Itu berarti agama bebas berkembang dan berlangsung dalam tatanan nilai yang dimiliki serta dipahami (diajarkan) oleh masing-masing kelompok. Ia tidak bisa dibatasi, apalagi diseragamkan, sebab penyeragaman agama adalah rediksionisme terhadap ajaran yang berbeda-beda. Setiap kelompok keagamaan memiliki kesempatan yang sama untuk hidup dan berkembang. Dalam kebersamaan yang demikian, maka beragama yang baik mesti dimengerti sebagai sebuah kerangka hidup bersama. Cara-cara beragama mesti dibangun di atas dasar budaya lokal, dengan tetap memaknai kebersamaan dan penghargaan atas nilai-nilai kemanusiaan. Bagaimana dengan Maluku? Beragama dalam konteks ke-Maluku-an orang Maluku bukan dilihat dari sejarah masuknya salah satu agama besar, tetapi kehidupan para leluhur yang mau berdampingan satu dengan yang lain dalam perbedaan tradisi, budaya, adat, jati diri dan sebagainya. Oleh karenanya, sangat mungkin harus dihindari penafsiran yang konvensional terhadap dokumen-dokumen keagamaan (alkitab, alquran dsb). Sebab hal ini dapat menimbulkan sikap fanatisme yang berujung pada konflik antar agama. Doktrin keagamaan mesti menjadi urusan rumah tangga agama itu. Doktrin agama tidak bisa dijadikan titik persinggungan antar agama. Yang harus ditetapkan dalam membangun keberagamaan adalah tema-tema yang sifatnya universal dan memanusiakan manusia yang arahnya untuk membangun hidup bersama.

Semoga jangan rusuh lagi…. PEACE.

1 komentar:

  1. Hipotesa (karena memakai rumusan "jika demikian") agama adalah sesuatu yang independen dan otonom, rasanya layak diuji kembali. Pada titik manakah agama menjadi sesuatu yang independen dan otonom, jika agama itu sendiri merupakan bentukan interpretatif dari manusia? Manusia, kata Ernst Casireer, adalah animal symbolicum (makhluk simbolik) yang selalu melakukan proses pembermaknaan tanpa henti. Sehingga apa yang disebut realitas itu pun sebenarnya hanyalah "apa yang dianggap sebagai realitas", bukan realitas itu sendiri.
    Maka berlakulah di sini interaksi dinamis antara penanda (signifier) dan petanda (signified), yang dalam kenyataannya akan berputar dalam suatu lingkaran hermeneutik - pada tahapan tertentu penanda akan petanda dan demikian juga sebaliknya. Kembali lagi, dapatkah agama dilihat sebagai sesuatu yang "tak-gayut" dalam konteks diskursus ini? Ataukah agama sebenarnya sangat longgar untuk diberi beban aneka interpretasi karena "subjek" agama itu sendiri (yaitu sang tuhan) tetap tak teruji secara empiris dengan instrumen metodologi positivistik? Jadi, apakah sejauh itu ia masih independen dan otonom?

    BalasHapus