Jumat, 05 Desember 2008

Tuhan : Sebuah Realitas Budaya

Oleh: Agus Lopuhaa

Setiap agama besar menawarkan konsep yang komprehensif tentang alam semesta, dan sepanjang gambaran tersebut dipercayai dan dibentuk dalam struktur disposisional, agama-agama besar tersebut secara otomatis mempengaruhi cara hidup umatnya.
Agama berawal dari kesadaran manusia tentang relasinya dengan suatu kuasa supranatural yang dialaminya secara nyata, baik itu melalui gejala alam atau melalui daya pikir. Dalam tradisi agama-agama, baik itu agama besar maupun agama suku, kesadaran akan kehadiran Realitas Tertinggi sangat jelas terasa. Kesadaran ini muncul karena ada sebuah kekuatan supranatural yang berada di luar kekuatan manusia. Kekuatan yang diresponi itu kemudian dipersonifikasikan dalam nama yang berbeda-beda. Respons itu juga tidak terlepas dari budaya dan tradisi yang berkembang dalam situasi masyarakat di mana agama ini mulai berkembang. Deskripsi tentang Realitas Tertinggi terkandung dalam teologi dan filsafat dari perbedaan tradisi-tradisi yang membicarakan secara harafiah tentang Tuhan mereka. Dengan demikian, Realitas Tertinggi itu menyatakan diri melalui berbagai jalan. Hal ini berarti semua agama mempunyai inti yakni suatu pengalaman akan Realitas Tertinggi; bahwa dengan jalan yang banyak, semuanya merupakan sarana-sarana yang dipakai oleh Tuhan untuk membuat diriNya hadir bagi manusia. Tuhan mempunyai “hakikat-hakikat” yang berbeda-beda, yang dinyatakan oleh tradisi-tradisi keagamaan yang berbeda-beda. Dari pemahaman di atas, Tuhan dapat diartikan sebagai nama yang diberikan kepada kuasa yang supranatural tersebut.
Ajaran monotheisme besar menegaskan bahwa “seperti langit yang berada di atas bumi, demikian juga begitu besar cinta (Tuhan Bangsa Israel) kepada orang-orang yang takut kepadaNya”. Atau bahwa Bapa di sorga dari Perjanjian Baru adalah Tuhan dengan cinta yang tiada batas; atau Allah mengungkapkan diri dalam Al-Quran sebagai Maha Pengasih dan Penyayang. Sebagian besar umat Hindu juga berpandangan theis, dan Bhagavad Gita mengatakan tentang Wisnu, bahwa Dia adalah “Penguasa Agung” alam semesta dan sahabat semua makhluk. Tetapi beralih kepada keimanan non-theistik, Hinduisme Advaitik menegaskan bahwa hakikat terdalam adalah realitas Brahman yang tanpa batas. Atau dalam Buddhisme ditegaskan bahwa sifat manusia yang sejati adalah sama dengan sifat Budha yang universal dari semesta dan manusia harus menjadi dirinya yang sebenarnya.
Masing-masing tradisi menarik garis perbedaan yang tegas antara keadaan yang darinya manusia diselamatkan atau dibebaskan, atau keadaan yang membuat manusia bangkit dengan keadaan yang lebih baik yang tanpa batas dan yang menunjukkan sebuah jalan.
Dalam berbagai jalan, yang menawarkan konsep pembebasan dan penyelamatan, merupakan sebuah gambaran yang nyata tentang pluralisme. Masing-masing agama dibangun dari cerita-cerita atau simbol-simbolnya. Tetapi dalam sebuah komunitas global yang modern, agama yang satu tidak bisa lepas dari yang lain dalam membangun hubungan bersama. Jika Kristen katakan bahwa tak ada nama lain jika ingin diselamatkan selain dalam nama Yesus; Yahudi melihat bahwa Allah memilih umatNya untuk menerangi dunia; Muslim melihat Muhammad sebagai nabi yang terakhir, yang didalamnya merupakan penyataan Allah yang terakhir; atau juga Hindu dan Buddha yang memahami konsep kebenaran terakhir; semuanya merupakan gambaran manusia dalam memahami Tuhan, yang menyatakan diri. Memahami Tuhan tidak terlepas dari budaya dan tradisi yang berkembang dalam situasi masyarakat di mana pemahaman ini mulai berkembang.
Dalam tradisi agama-agama besar, kesadaran akan kehadiran Tuhan sangat jelas terasa. Kesadaran ini muncul karena ada sebuah kekuatan supranatural yang berada di luar kekuatan manusia. Kekuatan yang diresponi itu kemudian dipersonifikasikan. Entah itu Yesus, Muhammad, Yahwe, Buddha, Krisna dan sebagainya.
Dalam kesadaran moral, sebagian besar setuju jika itu adalah kebebasan berpikir manusia dan kebebasan untuk mempertanggungjawabkannya. Sehingga tidak ada yang harus mengatakan bahwa kebenaran dalam agama lain adalah sesuatu yang salah, sebab jika ada yang melakukannya itu adalah suatu kebodohan.
Kesadaran manusia tentang Tuhan mengambil bentuk bermacam-macam, maka tidak semua kesadaran itu tersusun dalam konsep agama. Jika ada realitas ketuhanan, yang selalu dihadirkan dengan jelas, sejarah menunjukkan bahwa sementara realitas ini biasanya dialami dalam konteks keagamaan, ada kemungkinan realitas ini dialami, khususnya dalam kehidupan non religius, tanpa menggunakan konsep religius. Seperti misalnya dalam ajaran Marxis atau Mao yang melihat kebebasan manusia.
Tuhan dapat dibagi dalam dua konsep pemahaman yang berbeda. Konsep yang pertama adalah Tuhan sebagai dewa atau sebagai personal. Konsep ini banyak berada dalam agama-agama teistik. Konsep yang pertama berangkat dari kenyataan setempat dalam komunitas dan budaya. Tuhan hadir sebagai personal dalam relasi dengan komunitas masyarakat itu. Personal itulah yang kemudian dilihat sebagai gambaran tentang Tuhan. Konsep yang kedua adalah Tuhan sebagai yang Absolut atau kebenaran terakhir atau juga sebagai non-personal. Konsep seperti ini banyak dalam agama-agama non-teistik.
Tetapi tak satupun dari pengalaman di atas adalah Tuhan sendiri, meskipun semuanya merupakan manifestasi autentik dari Tuhan kepada manusia. Deskripsi tentang Tuhan terkandung dalam teologi dan filsafat dari tradisi-tradisi yang berbeda yang membicarakan secara harafiah (atau secara analogi) tentang Tuhan mereka, dan karena itu berbicara secara mitologis religius adalah kebenaran instrumental, yang terkandung di dalam kapasitasnya untuk membangkitkan dan mengembangkan respons manusia yang tepat kepada Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar